Metode Filsafat
Kata metode
berasal dari kata Yunani methodos, sambungan kata depan meta (ialah menuju, melalui, mengikuti,
sesudah) dan kata benda hodos (ialah jalan, perialanan, cara, arah) kata methodos sendiri lalu
berarti penelitian, metode ilmiah, hipotesis ilmiah, uraian ilmiah. Metode ialah
cara bertindak menurut sistem aturan tertentu.
Anton Bakker, 1984, hlm. 10)
Sebenarnya
jumlah metode filsafat hampir sama banyaknya dengan definisi dari para ahli
dan filsuf sendiri. Karena metode ini adalah suatu alat pendekatan untuk
mencapai hakikat sesuai dengan corak pandangan filsuf itu sendiri.
Lantaran
banyaknya metode ini, Runes dalam
Dictionary of Philosophy bagaimana dikutip oleh Anton Bakker menguraikan
sepanjang sejarah filsafat telah dikembangkan sejumlah metode-metode filsafat yang berbeda dengan cukup jelas. Yang paling penting dapat disusun menurut garis historis
sedikitnya ada 10
metode, yaitu sebagai berikut
1.
Metode Kritis: Socrates, Plato
Bersifat
analisis istilah dan pendapat. Merupakan hermeneutika, yang menjelaskan keyakinan, dan memperlihatkan
pertentangan. Dengan jalan bertanya (berdialog), membedakan,
membersihkan, menyisihkan dan menolak, akhirnya ditemukan hakikat.
2.
Metode intuitif: Plotinus,
Bergson
Dengan jalan
instrospeksi intuitif, dan dengan pemakaian symbol-simbol diusahakan
pembersihan intelektual (bersama dengan
persucian moral) sehingga tercapai
suatu penerangan pikiran. Bergson: dengan jalan pembauran antara kesadaran dan proses
perubahan, tercapai pemahaman langsung mengenai kenyataan.
3.
Metode skolastik: Aristoteles,
Thomas Aquinas, Filsafat Abad Pertengahan Bersifat sintetis-deduktif. Dengan bertitik
tolak dari definisi-definisi atau prinsip-prinsip yang jelas dengan sendirinya, ditarik kesimpulan-kesimpulan.
4.
Metode Geometris: Rene Descartes
dan Pengikutnya
Melalui analisis
mengenai hal-hal kompleks, dicapai intuisi akan hakikat-hakikat ‘sederhana' (ide terang dan berbeda dari yang lain), dan
hakikat hakikat itu dideduksikan secara matematis segala pengertian lainnya.
5.
Metode Empiris: Hobbes, Locke,
Berkeley, David Hume
Hanya
pengalamanlah menyajikan
pengertian benar; maka semua pengertian (ide-ide) dalam
introspeksi dibandingkan dengan cerapan-cerapan (impresi) dan kemudian disusun bersama secara geometris.
6.
Metode Transendental: Immanuel
Kant, Neo-Skolastik
Bertitik tolak dari tepatnya pengertian tertentu, dengan jalan
analisis diselidiki syarat-syarat apriori bagi pengertian sedemikian.
7.
Metode Fenomenologis: Husserl, Eksistensialisme
Dengan jalan
beberapa pemotongan sistematis (reduction), refleksi atas fenomin dalam kesadaran mencapai penglihatan
hakikat-hakikat murni.
8.
Metode Dialektis: Hegel, Marx
Dengan jalan
mengikuti dinamik pemikiran atau alam sendiri, menurut triade tesis,
antitesis, sintesis dicapai hakikat kenyataan.
9.
Metode Neo-positivistis
Kenyataan
dipahami menurut hakikatnya dengan jalan mempergunakan aturan-aturan seperti berlakunya pada ilmu
pengetahuan
positif (eksakta)
10.
Metode Analitika Bahasa: Wittgenstein
Dengan jalan
analisa pemakaian bahasa
sehari-hari ditentukan sah atau tidaknya ucapan ucapan filosofis. (Anton Bakker, 1984, hlm., 21-22)
Dari sepuluh
metode tersebut hanya beberapa metode yang khas bagi filsafat yang dianggap paling penting dan
berpengaruh sepanjang sejarah filsafat. Metode yang khas itulah yang dibahas oleh Anton Bakker dalam
bukunya. Metode Metode
Filsafat yakni metode kritis (Socrates,
Plato), metode intuitif (Plotinus, Henri Bergson), metode skolastik (Thomas Aquinas), metode geometris (Rene Descartes), metode eksperimentil
(David Hume), metode kritis-transendental (Immmanuel Kant, Neo-Skolastik), metode dialektis (Hegel), metode fenome-nologis (Husserl,
Eksistensialisme), dan metode analitis bahas (Ludwig Wittgenstein). Sedangkan
metode neo-positivistis tidak diuraikannya karena sebenarnya bukanlah metode yang
khas filsafat, tetapi hanya metode-metode ilmu eksakta sendiri, dan metode
linguistik.
Penjelasan
secara singkat metode-metode filsafat yang khas adalah sebagai berikut
1.
Metode Kritis dari Plato dan
Socrates
Metode
ini bersifat praktis dan dijalankan dalam percakapan-percakapan. Socrates tidak menyelidiki fakta-fakta, melainkan
ia menganalisis berbagai pendapat atau aturan-aturan yang dikemukakan orang. Setiap
orang mempunyai pendapat tertentu. Misalnya seorang negarawan mempunyai
pendapat tertentu mengenai keahliannya, kepada mereka dan kepada warga negara
Athena lainnya, Socrates mengajukan pertanyaan-pertanyaan mengenai pekerjaan
mereka dan soal-soal praktis dalam hidup seorang manusia. Socrates selalu mulai
dengan menganggap jawaban pertama sebagai suatu hipotesis dan dengan pertanyaan
lebih lanjut ia menarik
segala konsekuensi yang dapat disimpulkan dari jawaban tersebut. Jika ternyata hipotesis
pertama tidak dapat dipertahankan, karena membawa konsekuensi yang
mustahil, maka hipotesis itu diganti
dengan hipotesis lain. Hipotesis kedua ini diselidiki dengan pertanyaan
lain dari pihak Socrates dan seterusnya begitu.
Metode
Socrates tersebut biasanya disebut dialektika karena dialog atau wawancara
mempunyai peranan hakiki di dalamnya. Dalam suatu kutipan yang terkenal dari
dialog Theaitetos, Socrates sendiri mengusulkan nama lain untuk menunjukkan
metodenya, yaitu maieutike tekhne (seni kebidanan). Seperti ibunya adalah scorang bidan,
tetapi Socrates tidak menolong badan bersalin, melainkan Socrates
membidani jiwa-jiwa. Socrates
sendiri tidak menyampaikan pengetahuan,
tetapi dengan pertanyaan ia membidani pengetahuan yang terdapat dalam
jiwa orang lain. Dengan pertanyaan lebih lanjut ia menguji nilai pikiran yang
sudah dilahirkan. Dengan cara dialog tersebut Socrates menemukan suatu cara berpikir induksi, maksudnya berdasarkan
beberapa pengetahuan mengenai masalah-masalah khusus memperoleh kesimpulan pengetahuan yang
bersifat umum. (Sudarsono, 1993, hlm.
88-90)
2.
Metode tutuisi Dikembangkan oleh Platinus
dan Henri Bergsun
Guna
menyelami hakikat segala kenyataan diperlukan intuisi yaitu suatu tenaga rohani, kecakapan yang dapat
melepaskan diri dari akal, kecakapan untuk menyimpulkan serta meninjau dengan
sadar. Intuisi adalah naluri yang telah mendapatkan kesadaran diri, yang telah
diciptakan untuk memikirkan sasaran serta
memperluas sasaran itu menurut kehendak sendiri tanpa batas. Intuisi adalah
suatu bentuk pemikiran yang berbeda dengan pemikiran akal, sebab pemikiran intuisi bersifat
dinamis. Fungsi intuisi ialah untuk mengenalkan hakikat pribadinya atau 'aku'
dengan lebih murmi dan untuk mengenal hakikat seluruh kenyataan. Hakikat yang
sebenamya, baik dari ‘aku’ maupun dari ‘seluruh kenyataan’ oleh intuisi dilihat
sebagai ‘kelangsungan murni’ atau ‘masa murni’, yang keadaannya berbeda sekali
dengan 'waktu' yang dikenal akal.
Akal, jika ingin
mengerti keadaan suatu kenyataan, kenyataan itu dianalisis, dibongkar dalam banyak
unsur. Unsur yang satu
dibedakan dengan yang lain, dipisahkan dari
yang lain, dan ditempatkan yang satu di samping yang lain serta sesudah yang
lain, artinya akal memikirkan kembali unsur-unsur itu dalam ruang dan waktu. Kerja akal yang
demikian itu oleh Bergson disebut kerja yang sinematografis.
Prinsip
metode Plotinus adalah harmoni, maksudnya pulkan banyak bahan dari beberapa
filsuf lain kemudian dibanding-bandingkan dan ditimbang-timbang kembali sehingga
dapat diberi tafsiran baru. Selanjutnya ia cari kebenaran dengan jalan yang
sangat rumit (kompleks).
3.
Metode skolastik dengan Tokoh
yang Terkenal ialah Aristoteles dan Thomas Aquinas
Metode
skolastik sering disebut sintetis deduktif. Sering nama metode skolastik dipakai untuk
menguraikan metode mengajar, seperti terjadi di sekolah dan universitas; bukan hanya
dalam
filsafat, melainkan dalam semua ilmu, seperti hukum, kedokteran, ilmu pasti, dan
artes. Namun itu belum cukup. Kalau dicari metode filsafat Thomas Aquinas, pertama-tama
harus diteliti cara berpikir, cara menguraikan dan membuktikan ajarannya.
Filsafat
Thomas Aquinas dihubungkan erat sekali dengan teologi. Sekalipun demikian pada dasarnya filsafatnya
dapat dipandang sebagai suatu filsafat kodrati yang murni.
4.
Metode Geometris dan Metode
Empiris
Rene Descartes
menjadi tokoh pencetus metode geometris dan metode empiris didukung
oleh Hobbes, Locke, Berkeley, dan Hume. Kedua motode tersebut memiliki tempat
tersendiri dalam upaya pencarian nilai-nilai kefilsafatan secara radikal
dan hakiki.
Rene Descartes
berpendapat bahwa ada ketersusunan alami dalam kenyataan yang ada hubungannya dengan
pengertian manusia. Di samping itu, ia berusaha keras
untuk menemukan yang benar. Adapun yang harus dipandang sebagai yang
benar adalah apa yang jelas dan terang (clear and disticily).
Berbeda halnya
dengan metode empirisme yang diolah Hobbes, Locke, Berkeley, dan Hume. Thomas Hobbes telah menyusun suatu
sistem yang lengkap, ia berpangkal kepada empirisme secara konsekuen. Sekalipun
ia berpangkal pada dasar-dasar empins, namun ia menerima juga metode yang
dipakai dalam ilmu alam yang bersifat matematis. Ia telah mempersatukan
empirisme dengan rasionalisme dalam bentuk suatu filsalat materialistis yang
konsekuen pada zaman modern. Baginya filsafat adalah suatu ilmu pengetahuan yang
bersifat umum, sebab filsafat adalah ilmu pengetahuan
tentang efek atau akibat, atau tentang penampakan-penampakan yang sedemikian seperti yang
kita peroleh dengan merasionalisasikan pengetahuan yang semula kita miliki dari
penyebab atau asal usul yang sedemikian seperti yang dapat dimiliki dari mengetahui
terlebih dahulu akibat-akibatnya Sasaran filsafat adalah fakta-fakta yang
diamati, sedang maksudnya adalah mencari sebab-sebabnya. Adapun peralatannya adalah
pengertian-pengertian yang diungkapkan dalam pengamatan disajikan fakta fakta
yang dikenal dalam bentuk pengertian-pengertian yang ada di dalam kesadaran
kita. Sasaran ini dihasilkan dengan perantaraan pengertian-pengertian: ruang, waktu,
bilangan dan gerak, yang diamati pada benda-benda yang bergerak. Menurut Hobbes
tidak semua yang diamati pada benda-benda itu adalah nyata. Yang
benar-benar nyata adalah gerak dari bagian-bagian kecil benda-benda itu. Segala gejala
pada benda yang menunjukkan sifat benda itu ternyata hanya yang ada pada si
pengamat saja. (Sudarsono, 1993, hlm. 91-95)
5.
Metode Transendental: Kant, Neo-Skolastik
Aliran
rasionalisme dan empirisme akhirnya diatasi oleh filsafat immanuel Kant. Filsafatnya terutama ditekankan kepada
aktivitas pengertian dan penilaian manusia.
Jadi, dalam hal ini tidak menurut aspek atau segi kejiwaan sebagaimana
dalam empirisme, akan tetapi sebagai analisis kritis.
Menurut Kant, pemikiran
telah mencapai arahnya yang pasti di dalam ilmu pengetahuan alam, seperti yang
telah disusun oleh Newton. Ilmu pengetahuan alam itu telah mengajar kita, bahwa
perlu sekali terlebih dahulu secara kritis menilai pengenalan atau tindakan
mengenal itu sendiri.
6.
Metode Dialektis: Hegel, Karl
Marx
Jalan
untuk memahami kenyataan bagi Hegel adalah mengikuti gerakan pikiran atau konsep. Asal saja mulai
berpikir secara benar, ia akan dibawa oleh dinamika pikiran itu sendiri, dan akan dapat
memahami seluruh
perkembangan sejarah pula. Struktur di dalan pikiran adalah sama dengan proses
genetis dalam kenyataan, maka metode dan teori atau sistem tidak dapat
dipisahkan. Karena mengikuti dinamika di dalam pikiran dan kenyataan itu, maka
metode Hegel disebut metode
dialektis. Dialektis itu diungkapkan
sebagai tiga langkah, yaitu
dua pengertian yang bertentangan, kemudian didamaikan (tesis-antitesis-sintesis).
7.
Metode Fenomenologi: Husserl
Kata fenomenologi
berasal dan bahasa Yunani
fenomenon yang berarti sesuatu yang tampak atau gejala. Fenomenologi
adalah suatu aliran yang membicarakan tentang segala sesuatu yang menampakkan
diri, atau suatu aliran yang membicarakan tentang gejala.
Pada prinsipnya
dengan metode fenomenologi yang dibangun oleh Husserl ingin mencapai "hakikat segala sesuatu", maksudnya
agar mencapai "pengartian
yang sebenamya" atau
"hal
yang sebenamya" yang menerobos semua gejala yang tampak. Usaha untuk mencapai hakikat segala sesuatu
adalah reduksi atau penyaringan. Husserl
mengemukakan tiga macam reduksi berikut ini.
1)
Reduksi fenomenologis, kita harus
menyaring pengalaman-pengalaman kita,
dengan maksud supaya mendapatkan fenomena dalam wujud yang semurni muminya.
2)
Reduksi eidetis, penyaringan
atau penempatan dalam tanda kurung segala hal yang bukan eidos atau inti
sari atau hakikat gejala atau fenomenon. Jadi hasil reduksi kedua ialah "penilikan hakikat''. Di sini melihat hakikat sesuatu. inilah pengertian yang sejati.
3)
Reduksi transendental, yang harus
ditempatkan di antara tanda kurung dahulu ialah eksistensi dan segala sesuatu
yang tiada hubungan timbal balik dengan kesadaran mumi, supaya dari objek itu akhirnya orang sampai
kepada apa yang ada pada subjek sendiri.
8.
Metode Analitika Bahasa: Wettgenstein
Metode
ini dapat dinilai cukup netral sebab sama sekali tidak mengendalikan salah
satu filsafat. Keistimewaannya dalam metode ini ialah semua kesimpulan dan
hasilnya senantiasa didasarkan kepada penelitian bahasa yang logis. (Sudarsono, 1993, hlm. 96-102)
Sumber: Surajiyo. (2013). Filsafat Ilmu dan Perkembangannnya di Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar