Senin, 24 Oktober 2016

Metode Filsafat

Metode Filsafat
Kata metode berasal dari kata Yunani methodos, sambungan kata depan meta (ialah menuju, melalui, mengikuti, sesudah) dan kata benda hodos (ialah jalan, perialanan,  cara, arah) kata methodos sendiri lalu berarti penelitian, metode ilmiah, hipotesis ilmiah, uraian ilmiah. Metode ialah cara bertindak menurut sistem aturan tertentu.  Anton Bakker, 1984, hlm. 10) 
Sebenarnya jumlah metode filsafat hampir sama banyaknya dengan definisi dari para ahli dan filsuf sendiri. Karena metode ini adalah suatu alat pendekatan untuk mencapai hakikat sesuai dengan corak pandangan filsuf itu sendiri.
Lantaran banyaknya metode ini, Runes dalam Dictionary of Philosophy bagaimana dikutip oleh Anton Bakker menguraikan sepanjang sejarah filsafat telah dikembangkan sejumlah metode-metode filsafat yang berbeda dengan cukup jelas. Yang paling penting dapat disusun menurut garis historis sedikitnya ada 10 metode,  yaitu sebagai berikut
1.        Metode Kritis: Socrates, Plato
Bersifat analisis istilah dan pendapat. Merupakan hermeneutika, yang menjelaskan keyakinan, dan memperlihatkan pertentangan. Dengan jalan bertanya (berdialog), membedakan, membersihkan, menyisihkan dan menolak, akhirnya ditemukan hakikat. 
2.        Metode intuitif: Plotinus, Bergson
Dengan jalan instrospeksi intuitif, dan dengan pemakaian symbol-simbol diusahakan pembersihan intelektual (bersama dengan persucian moral)  sehingga tercapai suatu penerangan pikiran. Bergson: dengan jalan pembauran antara kesadaran dan proses perubahan, tercapai pemahaman langsung mengenai kenyataan. 
3.        Metode skolastik: Aristoteles, Thomas Aquinas, Filsafat Abad Pertengahan Bersifat sintetis-deduktif. Dengan bertitik tolak dari definisi-definisi atau prinsip-prinsip yang jelas dengan sendirinya, ditarik kesimpulan-kesimpulan.
4.        Metode Geometris: Rene Descartes dan Pengikutnya
Melalui analisis mengenai hal-hal kompleks, dicapai intuisi akan hakikat-hakikat sederhana' (ide terang dan berbeda dari yang lain), dan hakikat hakikat itu dideduksikan secara matematis segala pengertian lainnya.
5.        Metode Empiris: Hobbes, Locke, Berkeley, David Hume
Hanya pengalamanlah menyajikan pengertian benar; maka semua pengertian (ide-ide) dalam introspeksi dibandingkan dengan cerapan-cerapan (impresi) dan kemudian disusun bersama secara geometris. 
6.        Metode Transendental: Immanuel Kant, Neo-Skolastik
Bertitik tolak dari tepatnya pengertian tertentu, dengan jalan analisis diselidiki syarat-syarat apriori bagi pengertian sedemikian. 
7.        Metode Fenomenologis: Husserl, Eksistensialisme
Dengan jalan beberapa pemotongan sistematis (reduction), refleksi atas fenomin dalam kesadaran mencapai penglihatan hakikat-hakikat murni.
8.        Metode Dialektis: Hegel, Marx
Dengan jalan mengikuti dinamik pemikiran atau alam sendiri, menurut triade tesis, antitesis, sintesis dicapai hakikat kenyataan. 
9.        Metode Neo-positivistis
Kenyataan dipahami menurut hakikatnya dengan jalan mempergunakan aturan-aturan seperti berlakunya pada ilmu pengetahuan positif (eksakta)
10.    Metode Analitika Bahasa: Wittgenstein
Dengan jalan analisa pemakaian bahasa sehari-hari ditentukan sah atau tidaknya ucapan ucapan filosofis. (Anton Bakker, 1984, hlm., 21-22)
Dari sepuluh metode tersebut hanya beberapa metode yang khas bagi filsafat yang dianggap paling penting dan berpengaruh sepanjang sejarah filsafat. Metode yang khas itulah yang dibahas oleh Anton Bakker dalam bukunya. Metode Metode Filsafat yakni metode kritis (Socrates, Plato), metode intuitif (Plotinus, Henri Bergson), metode skolastik (Thomas Aquinas), metode geometris (Rene Descartes), metode eksperimentil (David Hume), metode kritis-transendental (Immmanuel Kant,  Neo-Skolastik), metode dialektis (Hegel), metode fenome-nologis (Husserl,  Eksistensialisme), dan metode analitis bahas (Ludwig Wittgenstein). Sedangkan metode neo-positivistis tidak diuraikannya karena sebenarnya bukanlah metode yang khas filsafat, tetapi hanya metode-metode ilmu eksakta sendiri, dan metode linguistik.
Penjelasan secara singkat metode-metode filsafat yang khas adalah sebagai berikut
1.      Metode Kritis dari Plato dan Socrates
Metode ini bersifat praktis dan dijalankan dalam percakapan-percakapan.  Socrates tidak menyelidiki fakta-fakta, melainkan ia menganalisis berbagai pendapat atau aturan-aturan yang dikemukakan orang. Setiap orang mempunyai pendapat tertentu. Misalnya seorang negarawan mempunyai pendapat tertentu mengenai keahliannya, kepada mereka dan kepada warga negara Athena lainnya, Socrates mengajukan pertanyaan-pertanyaan mengenai pekerjaan mereka dan soal-soal praktis dalam hidup seorang manusia. Socrates selalu mulai dengan menganggap jawaban pertama sebagai suatu hipotesis dan dengan pertanyaan lebih lanjut ia menarik segala konsekuensi yang dapat disimpulkan dari jawaban tersebut. Jika ternyata hipotesis pertama tidak dapat dipertahankan, karena membawa konsekuensi yang mustahil,  maka hipotesis itu diganti dengan hipotesis lain. Hipotesis kedua ini diselidiki dengan pertanyaan lain dari pihak Socrates dan seterusnya begitu.
Metode Socrates tersebut biasanya disebut dialektika karena dialog atau wawancara mempunyai peranan hakiki di dalamnya. Dalam suatu kutipan yang terkenal dari dialog Theaitetos, Socrates sendiri mengusulkan nama lain untuk menunjukkan metodenya, yaitu maieutike tekhne (seni kebidanan). Seperti ibunya adalah scorang bidan, tetapi Socrates tidak menolong badan bersalin, melainkan Socrates membidani jiwa-jiwa. Socrates sendiri tidak menyampaikan pengetahuan,  tetapi dengan pertanyaan ia membidani pengetahuan yang terdapat dalam jiwa orang lain. Dengan pertanyaan lebih lanjut ia menguji nilai pikiran yang sudah dilahirkan. Dengan cara dialog tersebut Socrates menemukan suatu cara berpikir induksi, maksudnya berdasarkan beberapa pengetahuan mengenai masalah-masalah khusus memperoleh kesimpulan pengetahuan yang bersifat umum. (Sudarsono, 1993, hlm. 88-90)
2.      Metode tutuisi Dikembangkan oleh Platinus dan Henri Bergsun
Guna menyelami hakikat segala kenyataan diperlukan intuisi yaitu suatu tenaga rohani, kecakapan yang dapat melepaskan diri dari akal, kecakapan untuk menyimpulkan serta meninjau dengan sadar. Intuisi adalah naluri yang telah mendapatkan kesadaran diri, yang telah diciptakan untuk memikirkan  sasaran serta memperluas sasaran itu menurut kehendak sendiri tanpa batas. Intuisi adalah suatu bentuk pemikiran yang berbeda dengan pemikiran akal, sebab pemikiran intuisi bersifat dinamis. Fungsi intuisi ialah untuk mengenalkan hakikat pribadinya atau 'aku'  dengan lebih murmi dan untuk mengenal hakikat seluruh kenyataan. Hakikat yang sebenamya, baik dari ‘aku’ maupun dari ‘seluruh kenyataan’ oleh intuisi dilihat sebagai ‘kelangsungan murni’ atau ‘masa murni’, yang keadaannya berbeda sekali dengan 'waktu' yang dikenal akal. 
Akal, jika ingin mengerti keadaan suatu kenyataan, kenyataan itu dianalisis, dibongkar dalam banyak unsur. Unsur yang satu dibedakan dengan yang lain,  dipisahkan dari yang lain, dan ditempatkan yang satu di samping yang lain serta sesudah yang lain, artinya akal memikirkan kembali unsur-unsur itu dalam ruang dan waktu. Kerja akal yang demikian itu oleh Bergson disebut kerja yang sinematografis.
Prinsip metode Plotinus adalah harmoni, maksudnya pulkan banyak bahan dari beberapa filsuf lain kemudian dibanding-bandingkan dan ditimbang-timbang kembali sehingga dapat diberi tafsiran baru. Selanjutnya ia cari kebenaran dengan jalan yang sangat rumit (kompleks). 
3.      Metode skolastik dengan Tokoh yang Terkenal ialah Aristoteles dan Thomas Aquinas
Metode skolastik sering disebut sintetis deduktif. Sering nama metode skolastik dipakai untuk menguraikan metode mengajar, seperti terjadi di sekolah dan universitas; bukan hanya dalam filsafat, melainkan dalam semua ilmu, seperti hukum, kedokteran, ilmu pasti, dan artes. Namun itu belum cukup. Kalau dicari metode filsafat Thomas Aquinas, pertama-tama harus diteliti cara berpikir, cara menguraikan dan membuktikan ajarannya.
Filsafat Thomas Aquinas dihubungkan erat sekali dengan teologi. Sekalipun demikian pada dasarnya filsafatnya dapat dipandang sebagai suatu filsafat kodrati yang murni.
4.      Metode Geometris dan Metode Empiris
Rene Descartes menjadi tokoh pencetus metode geometris dan metode empiris didukung oleh Hobbes, Locke, Berkeley, dan Hume. Kedua motode tersebut memiliki tempat tersendiri dalam upaya pencarian nilai-nilai kefilsafatan secara radikal dan hakiki. 
Rene Descartes berpendapat bahwa ada ketersusunan alami dalam kenyataan yang ada hubungannya dengan pengertian manusia.  Di samping itu, ia berusaha keras untuk menemukan yang benar. Adapun yang harus dipandang sebagai yang benar adalah apa yang jelas dan terang (clear and disticily). 
Berbeda halnya dengan metode empirisme yang diolah Hobbes, Locke, Berkeley,  dan Hume. Thomas Hobbes telah menyusun suatu sistem yang lengkap, ia berpangkal kepada empirisme secara konsekuen. Sekalipun ia berpangkal pada dasar-dasar empins, namun ia menerima juga metode yang dipakai dalam ilmu alam yang bersifat matematis. Ia telah mempersatukan empirisme dengan rasionalisme dalam bentuk suatu filsalat materialistis yang konsekuen pada zaman modern. Baginya filsafat adalah suatu ilmu pengetahuan yang bersifat umum,  sebab filsafat adalah ilmu pengetahuan tentang efek atau akibat, atau tentang penampakan-penampakan yang sedemikian seperti yang kita peroleh dengan merasionalisasikan pengetahuan yang semula kita miliki dari penyebab atau asal usul yang sedemikian seperti yang dapat dimiliki dari mengetahui terlebih dahulu akibat-akibatnya Sasaran filsafat adalah fakta-fakta yang diamati, sedang maksudnya adalah mencari sebab-sebabnya.  Adapun peralatannya adalah pengertian-pengertian yang diungkapkan dalam pengamatan disajikan fakta fakta yang dikenal dalam bentuk pengertian-pengertian yang ada di dalam kesadaran kita. Sasaran ini dihasilkan dengan perantaraan pengertian-pengertian: ruang, waktu, bilangan dan gerak, yang diamati pada benda-benda yang bergerak. Menurut Hobbes tidak semua yang diamati pada benda-benda itu adalah nyata. Yang benar-benar nyata adalah gerak dari bagian-bagian kecil benda-benda itu. Segala gejala pada benda yang menunjukkan sifat benda itu ternyata hanya yang ada pada si pengamat saja. (Sudarsono, 1993,  hlm. 91-95) 
5.                  Metode Transendental: Kant, Neo-Skolastik
Aliran rasionalisme dan empirisme akhirnya diatasi oleh filsafat immanuel Kant.  Filsafatnya terutama ditekankan kepada aktivitas pengertian dan penilaian manusia.  Jadi, dalam hal ini tidak menurut aspek atau segi kejiwaan sebagaimana dalam empirisme, akan tetapi sebagai analisis kritis.
Menurut Kant, pemikiran telah mencapai arahnya yang pasti di dalam ilmu pengetahuan alam, seperti yang telah disusun oleh Newton. Ilmu pengetahuan alam itu telah mengajar kita, bahwa perlu sekali terlebih dahulu secara kritis menilai pengenalan atau tindakan mengenal itu sendiri.
6.      Metode Dialektis: Hegel, Karl Marx
Jalan untuk memahami kenyataan bagi Hegel adalah mengikuti gerakan pikiran atau konsep. Asal saja mulai berpikir secara benar, ia akan dibawa oleh dinamika pikiran itu sendiri, dan akan dapat memahami seluruh perkembangan sejarah pula. Struktur di dalan pikiran adalah sama dengan proses genetis dalam kenyataan, maka metode dan teori atau sistem tidak dapat dipisahkan. Karena mengikuti dinamika di dalam pikiran dan kenyataan itu, maka metode Hegel disebut metode dialektis.  Dialektis itu diungkapkan sebagai tiga langkah, yaitu dua pengertian yang bertentangan, kemudian didamaikan (tesis-antitesis-sintesis). 
7.      Metode Fenomenologi: Husserl
Kata fenomenologi berasal dan bahasa Yunani fenomenon yang berarti sesuatu yang tampak atau gejala. Fenomenologi adalah suatu aliran yang membicarakan tentang segala sesuatu yang menampakkan diri, atau suatu aliran yang membicarakan tentang gejala.
Pada prinsipnya dengan metode fenomenologi yang dibangun oleh Husserl ingin mencapai "hakikat segala sesuatu", maksudnya agar mencapai "pengartian yang sebenamya" atau "hal yang sebenamya" yang menerobos semua gejala yang tampak.  Usaha untuk mencapai hakikat segala sesuatu adalah reduksi atau penyaringan.  Husserl mengemukakan tiga macam reduksi berikut ini.
1)      Reduksi fenomenologis, kita harus menyaring pengalaman-pengalaman kita,  dengan maksud supaya mendapatkan fenomena dalam wujud yang semurni muminya. 
2)      Reduksi eidetis, penyaringan atau penempatan dalam tanda kurung segala hal yang bukan eidos atau inti sari atau hakikat gejala atau fenomenon. Jadi hasil reduksi kedua ialah "penilikan hakikat''.  Di sini melihat hakikat sesuatu.  inilah pengertian yang sejati. 
3)      Reduksi transendental, yang harus ditempatkan di antara tanda kurung dahulu ialah eksistensi dan segala sesuatu yang tiada hubungan timbal balik dengan kesadaran mumi, supaya dari objek itu akhirnya orang sampai kepada apa yang ada pada subjek sendiri. 
8.      Metode Analitika Bahasa: Wettgenstein
Metode ini dapat dinilai cukup netral sebab sama sekali tidak mengendalikan salah satu filsafat. Keistimewaannya dalam metode ini ialah semua kesimpulan dan hasilnya senantiasa didasarkan kepada penelitian bahasa yang logis. (Sudarsono,  1993, hlm. 96-102)



Sumber: Surajiyo. (2013). Filsafat Ilmu dan Perkembangannnya di Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar