Aliran Filsafat Hukum Alam
Aliran ini berpendapat
bahwa hukum berlaku universal (umum). Menurut Friedman, aliran ini timbul
karena kegagalan manusia dalam mencari keadilan yang absolut, sehingga hukum
alam dipandang sebagai hukum yang berlaku secara universal dan abadi
Gagasan mengenai hukum
alam didasarkan pada asumsi bahwa melalui penalaran, hakikat mahkluk hidup akan
dapat diketahui dan pengetahuan tersebut menjadi dasar bagi tertib sosial serta
tertib hukum eksistensi manusia. Hukum alam dianggap lebih tinggi dari hukum
yang sengaja dibentuk oleh manusia. Aliran hukum alam ini dibagi menjadi 2
(dua), yaitu:
1)
Irrasional:
Aliran ini berpendapat
bahwa hukum yang berlaku universal dan abadi bersumber dari Tuhan secara
langsung. Pendukung aliran ini antara lain: Thomas Aquinas (Aquino), John
Salisbury, Daante, Piere Dubois, Marsilius Padua, dan John Wyclife.
Thomas Aquinas membagi
hukum ke dalam 4 golongan, yaitu:
a)
Lex Aeterna, merupakan
rasio Tuhan sendiri yang mengatur segala hal dan merupakan sumber dari segala
hukum. Rasio ini tidak dapat ditangkap oleh pancaindera manusia.
b)
Lex Divina, bagia dari
rasio Tuhan yang dapat ditangkap oleh manusia berdasarkan waktu yang
diterimanya.
c)
Lex Naaturalis, inilah
yang dikenal sebagai hukum alam dan merupakan penjelmaan dari rasio manusia.
d)
Lex Posistivis, hukum yang
berlaku merupakan pelaksanaan hukum alam oleh manusia berhubung dengan syarat
khusus yang diperlukan oleh keadaan dunia. Hukum ini diwujudkan ke dalam
kitab-kitab suci dan hukum positif buatan manusia.
Penulis lain, William
Occam dari Inggris mengemukakn adanya hirarkis hukum, dengan penjelasan sebagai
berikut:
a)
Hukum
Universal, yaitu hukum yang mengatur tingkah laku manusia yang bersumber dari
rasio alam.
b)
Apa yang
disebut sebagai hukum yang mengikat masyarakat berasal dari alam.
c)
Hukum yang
juga bersumber dari prinsip-prinsip alam tetapi dapat diubah oleh penguasa.
Occam juga berpendapat
bahwa hukum identik dengan kehendak mutlak Tuhan Sementara itu Fransisco Suarez
dari Spanyol berpendapat demikian, manusia yang bersusila dalam pergaulan hidupnya
diatur oleh suatu peraturan umum yang harus memuat unsusr-unsur kemauan dan
akal. Tuhan adalah pencipta hukum alam yang berlaku di semua tempat dan waktu.
Berdasarkan akalnya manusia dapat menerima hukum alam tersebut, sehingga
manusia dapat membedakan antara yang adil dan tidak adil, buruk atau jahat dan
baik atau jujur. Hukum alam yang dapat diterima oleh manusia adalah sebagian
saja, sedang selebihnya adalah hasil dari akal (rasio) manusia.
1)
Rasional:
Sebaliknya, aliran ini
mengatakan bahwa sumber dari hukum yang universal dan abadi adalah rasio
manusia. Pandangan ini muncul setelah zaman Renaissance (pada saat rasio
manusia dipandang terlepas dari tertib ketuhanan/lepas dari rasio Tuhan) yang
berpendapat bahwa hukum alam muncul dari pikiran (rasio) manusia tentang apa
yang baik dan buruk penilaiannya diserahkan kepada kesusilaan (moral) alam.
Tokoh-tokohnya, antara lain: Hugo de Groot (Grotius), Christian Thomasius,
Immanuel Kant, dan Samuel Pufendorf.
Pendasar hukum alam yang
rasional adalah Hugo de Groot (Grotius), ia menekankan adanya peranan rasio
manusia dalam garis depan, sehingga rasio manusia sama sekali terlepas dari
Tuhan. Oleh karena itu rasio manusialah sebagai satu-satunya sumber hukum.
Tokoh penting lainnya
dalam aliran ini ialah Immanuel Kant. Filsafat dari Kant dikenal sebagai
filsafat kritis, lawan dari filsafat dogmatis. Ajaran Kant dimuat dalam tiga
buah karya besar, yaitu: Kritik Akal Budi Manusia (kritik der reinen Vernunft yang terkait dengan persepsi), Kritik
Akal Budi Praktis (kritik der praktischen
Vernunft yang terkait dengan moralitas), Kritik Daya Adirasa (kritik der Urteilskraft yang terkait
dengan estetika dan harmoni). Ajaran Kant tersebut ada korelasinya dengan tiga
macam aspek jiwa manusia, yaitu cipta, rasa, dan karsa (thinking, volition, and feeling).[2]
Metode kritis tidak skeptis, tidak dogmatis (trancendental). Hakekat manusia (homo noumenon) tidak terletak
pada akalnya, beserta corak berfikir yang bersifat teoritis keilmuan alamiah (natuurweten schappelijke denkwijze),
tetapi pada kebebasan jiwa susila manusia yang mampu secara mandiri menciptakan
hukum kesusilaan bagi dirinya sendiri dan juga orang lain. Yang penting bukan manusia ideal berilmu atau ilmuwan, tetapi justru
pada manusia ideala berkepribadian humanistis.
Salah satu karya Kant
yang berjudul Metaphysische
Anfangsgruende der Rechtslehre (Dasar Permulaan Metafisika Ajaran Hukum
merupakan bagian dari karyanya yang berjudul Metaphysik der Sitten) pokok pikirannya ialah bahwa manusia menurut
darma kesusilaannya mempunyai hak untuk berjuang bagi kebebasan lahiriahnya
untuk menghadirkan dan melaksanakan kesusilaan. Dan hukum berfungsi untuk
menciptakan situasi kondisi guna mendukung perjuangan tersebut. Hakekat hukum
bagi Kant adalah bahwa hukum itu merupakan keseluruhan kondisi-kondisi di mana
kehendak sendiri dari seseorang dapat digabungkan dengan kehendak orang lain di
bawah hukum kebebasan umum yang meliputi kesemuanya.
Katagori imperatif Kant mewajibkan semua
anggota masyarakat tetap mentaati hukum positif negara sekalipun di dalam hukum
terebut terdapat unsur-unsur yang bertentangan dengan dasar-dasar kemanusiaan.
Jadi, di sini sudah terdapat larangan mutlak bagi perilaku yang tergolong
melawan penguasa negara, sehingga dengan katagori imperatif ini ajaran dari
Immanuel Kant juga dapat digolongkan ke dalam aliran positivisme. Pendapat Kant
ini diikuti oleh Fichte yang mengatakan bahwa hukum alam itu bersumber dari
rasio manusia.
Penulis lain yang tidak kalah pentingnya
ialah Hegel dari Jerman. Yang dijadikan motto oleh Hegel ialah: Apa yang nyata
menurut nalar adalah nyata, dan apa yang nyata adalah menurut nalar (Was vernunftig ist, das ist wirklich ist,
das ist vernunftig. What is reasonable is real, and what is real is
reasonable). Tidak ada antimoni antara nalar/akal dengan kenyataan atau
realitas. Bagi Hegel, seluruh kenyataan kodrat alam dan kejiwaan merupakan
proses perkembangan sejarah secara dialektis dari roh/cita/spirit mutlak yang
senantiasa maju dan berkembang. Jiwa mutlak mengandung dan mencakup seluruh
tahap-tahap perkembangan sebelumnya jadi merupakan permulaan dan kelahiran
segala sesuatu. Pertumbuhan dan perkembangan dialektis melalui tesa, antitesa,
san sintesa yang berlangsung secara berulang-ulang dan terus-menerus. Filsafat
hukum dalam bentuk maupun isinya, penampilan dan esensinya juga dikuasai oleh
hukum dialektika. Negara merupakan perwujudan jiwa mutlak, demikan juga dengan
hukum.
Lili Rasjid (1991) Filsafat
Hukum, Apakah Hukum Itu?.Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar