Arti Keadilan dalam Filsafat
Membicarakan hukum tidak
lepas dari kata “keadilan” yang sudah ada sejak jaman Yunani Kuno. Masalah
keadilan sudah mulai disinggung pada saat Plato dan Aristoteles melontarkan
pemikiran-pemikirannya yang menjadi latar belakang perenungan tentang keadilan
yang menguasai filsafat hukum. Plato mencoba mengemukakan konsepsinya tentang keadilan dari “inspirasi”, sedang
Aristoteles mencoba mendekatinya dan menganalisis berdsarkan ilmu dan
prinsip-prinsip rasional dengan latar belakang type masyarakat politik dan
peraturan-peraturan hukum yang ada pada waktu itu. Hal yang menghubungkan
mereka adalah concept of virtue, yaitu
sifat baik, yang meliputi suatu pengertian yang sudah mencakup segala-galanya
dan darimana keadilan merupakan suatu bagiannya. Concept of virtue inilah yang menghadirkan pengertian keimbangan (balance) dan harmoni sebagai suatu
ukuran pada masyarakat maupun perorangan yang adil, sehingga dari sini tidak
jarang pula antara keimbangan dan
harmoni terpisah jalan keadilannya. Dengan perkataan lain, keadilan merupakan
pengertian yang tercipta pada perpaduan antara keimbangan dan harmoni sebagai suatu ukuran.
Menurut Plato, harmoni
adalah suatu keadaan dari dalam yang tidak dapat dianalisis dengan akal. Sedang
menurut Aristoteles, harmoni adalah suatu yang ada di tengah-tengah antara dua
keadaan yang ekstrem. Pertanyaan tentang apa keadilan mulai dijawab oleh
Ulpianus (200 M) yang mengatakan bahwa keadilan adalah kehendak yang ajeg dan
tetap untuk memberikan kepada masing-masing bagiannya. Kata adil dapat berarti
menurut hukum dan apa yang sebanding. Hal senada juga dikatakan oleh
Aristoteles bahwa seorang dikatakan berlaku tidak adil apabila orang tersebut
mengambil lebih dari bagian yang semestinya ia terima. Demikian pula kata tidak
adil dapat ditujukan kepada orang yang mengabaikan hukum, oleh karena itu
keadilan menurut hukum dikatakan sebagai keadilan umum.
Keadilan dapat pula
diartikan sebagai keutamaan moral khusus, yang menentukan sikap manusia pada
bidang tertentu, yang ditandai dengan sifat-sifat berikut ini
a.
Keadilan
menentukan bagaimanakah hubungan yang baik antara orang-orang yang satu dengan
yang lain;
b.
Keadilan
berada di tengah dua ekstrem, yaitu diusahakan supaya dalam mengejar keuntungan
tercipta keseimbangan antara dua belah pihak;
c.
Untuk
mengutamakan dimanakah letak keseimbangan yang tepat antara orang-orang
digunakan ukuran kesamaan yang dihitung secara aritmetis dan geometris.
Dalam menganalisis keadilan, Aristoteles membagi keadilan menjadi
dua, yaitu:
a.
Keadilan
distributif (Distributive Justice),
yaitu memberi petunjuk tentang pembagian barang-barang dan kehormatan pada
masing-masing orang menurut tempatnya.
b.
Keadilan
Korektif (Corrective Justice/Commutative
Justice),terutama untuk ukuran prinsip-prinsip teknis yang mengatur
administrasi hukum, untuk itu harus ada ukuran umum guna memperbaiki
akibat-akibat tindakan tanpa memperhatikan siapa orangnya yang berkepentingan.
Oleh karena itu tindakan-tindakan tersebut harus diukur dengan ukuran yang
obyektif.
Selain membagi keadilan menjadi dua, Aristoteles juga memberikan
kontribusi lain, yatu membuat perbedaan antara keadilan menurut hukum kodrat
dan hukum poisitif. Hukum kodrat mendasrkan kekuatannya pada pembawaan manusia
yang sama di manapun juga dan untuk waktu kapanpun, karana hal ini adalah
masalah keabadian dari filsafat hukum. Sedang hukum positif mendapat
kekuatannya karena ditentukan sebagai hukum, adil atau tidak adil, memberi
penjelasan adanya bermacam-macam hukum positif.
Kontribusi Aristoteles
berikutnya, ialah pembedaan antara keadilan abstrak dan kepatutan (equity). Perbedaannya ialah, hukum
terpaksa membuat aturan-aturan yang berlaku umum, dan seringkali bertindak
kejam terhadap soal-soal perseorangan. Sedang equity melunakkan
kekerasan dengan memperhatikan hal-hal yang benar tentang sesuatu
undang-undang.
Pemikir aliran hukum
alam lainnya ialah Thomas Aquino, membagi keadilan menjadi 2, yaitu:
a.
Keadialan
Umum (Justitia Generali); adlah keadilan menurut kehendak masing-masing
yang harus ditunaikan menurut kepentingan umum.
b.
Keadilan
Khusus; yaitu keadilan atas dasar kesamaan, yang dibedakan lagi menjadi 3, yaitu:
1)
keadilan
distributif;
2)
keadilan
komutatif;
3)
keadilan
vindikatif.
Kaum Positivis (aliran Positivisme) memandang keadilan
sebagai tujuan hukum. Namun relativitas keadilan sering mengaburkan tujuan
hukum lain, yaitu kepastian hukum. Hal ini sesuai dengan adagium “Summun jus, summa injuria, summa lex, summa
crux”, yaitu hukum yang keras akan dalam melukai kecuali keadilan dapat
menolongnya. Ungkapan tersebut berawal dari ketidakpercayaan kaum positivis
terhadap keadilan yang sebenarnya, karena keadilan yang tertinggi adalah
ketidakadilannyang tertinggi pula.
Lili Rasjid (1991) Filsafat
Hukum, Apakah Hukum Itu?.Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar