Filsafat Hukum dan Pancasila
Untuk mengetahui
keterkaitan antara Pancasila dengan berbagai aliran dalam filsafat hukum, perlu
dipahami mengenai hakekat dari Pancasila sampai sedalam-dalamnya. Di dalam
mengupas hakekat Pancasila sampai kedalamannya, dapat dipergunakan pendekatan
filosofis. Adapun pendekatan filosofis yang digunakan ialah metode dialektis
dan analitis.
Metode deduktif paralel
dengan metode sintesis sebagaimana dikemukakan oleh Hegel pada abad XIX (zaman
Modern), mengemukakan teorinya yang disebut “Teori Dialektika”. Dalam
Teorinya, Hegel berpendapat bahwa proses perkembangan rohani berjalan
dialektis, yang menurut Hegel ide-ide saling berlawanan dan sekalian rohani
melemah untuk menjadi kesatuan dalam suatu ide baru, yang merangkap kebenaran
yang terkandung dalam dua ide tadi. Sebagai contoh, ide tadi berawal daru suatu
yang “ada”, kemudian diperkirakan sesuatu yang ada, akan tetapi belum ada
secara menyeluruh, yakni ide “menjadi” mempunyai pikiran melalui tesei, anti
tesis, dan sintesis, sehingga cara berfikir yang demikian ini disebut
dialektis. Hal ini berlangsung secara terus-menerus. Menurut Hegel pula, teori
dialektis berlaku tidak hanya bidang logika, tetapi juga dalam bidang realitas,
dan yang paling banyak adalah bidang sejarah.
Pancasila yang kita
kenal sebagai dasar negara Indonesia
sebagaimana dikemukakan oleh Notonegoro yang menggunakan teori Causalis
untuk menyelesaikan Pancasila. Teori ini mengatakan bahwa semua yang ada
mempunyai sebab, lebih lanjut dikemukakan pula, berdasarkan teori causalis,
Pancasila juga dapat dipahami secara mendalam, yaitu:
Pertama, dilihat dari causa
materialis, Pancasila berdasar adat kebiasaan, kebudayaan, dan agama yang
dianut oleh bangsa Indonesia .
Adat kebiasaan di sini ialah adat kebiasaan dalam arti luas yang meliputi adat
kebiasaan politik, kewarganegaraan, ekonomi, sosial, dan sebagainya.
Causa Formalis
Pancasila, menurut Notonegoro, ialah anggota BPUPKI, yaitu Soekarno dan Hatta
yang kemudian disebut sebagai pembentuk negara. Causa Finalis, Pancasila
adalah calon dasar filsafat negara. Hal ini tertuang dalam pidato Soekarno pada
tanggal 1 Juni 1945 yang secara tegas menyebutkan bahwa tujuan dari pidatonya
tentang Pancasila ialah untuk merumuskan dasar Indonesia merdeka yang disebut
sebagai Filosofische Grondslag. Hal ini dapat juga disebutkan untuk
Pancasila dalam Piagam Jakarta yang ditandatangani pada tanggal 22 Juni 1945
yang selanjutnya dipakai sebagai Pembukaan UUD 1945. Sehingga dalam hal ini
dapat dikatakan bahwa Causa Finalis Pancasila ialah dasar filsafat negara,
sebab Pembukaan UUD 1945 yang telah ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945
oleh PPKI dimaksudkan sebagai dasar filsafat negara.
Causa Efficient
Pancasila ialah PPKI, karena PPKI secara resmi menetapkan Pembukaan UUD 1945
yang berintikan Pancasila sebagai dasar filsafat negara. Dengan demikian, causa
efficient Pancasila sebagai dasar
filasafat negara ialah pembentuk negara Indonesia , dalam hal ini PPKI.
Pancasila merupakan
kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dan dijungkirbalikkan tanpa mengubah inti
dari isinya, karena susunan Pancasila berbentuk hirarkis piramidal. Dikatakan
hirarkis, karena jika dilihat dari isinya, urut-urutan lima sila tersebut menunjukkan satu rangkaian
tingkatan dalam luas dan isinya. Selanjutnya, dikatakan piramidal, karena
tiap-tiap sila yang ada di belakang sila lainnya merupakan pengkhususan dari
sila/sisla-sila yang ada di depannya. Penjelasan selanjutnya, Sila Ketuhanan
Yang Maha Esa menjadi basis dari Kemanusiaan, Persatuan Indonesia , Kerakyatan Yang Dipimpin
Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan Perwakilan, dan Keadilan
Sosial. Sebaliknya, Ketuhanan Yang Maha Esa adalah Ketuhanan yang
berperikemanusiaan, berpersatuan, berkerakyatan, dan berkeadilans osial,
demikian seterusnya. Sehingga tiap-tiap sila yang ada di dalamnya terkandung
sila-sila lainnya. Kecuali itu, ditegaskan bahwa sila ketuhanan dan kemanusiaan
meliputi seluruh hidup manusia dan menjadi dasar dari sila-sila persatuan,
kerakyatan, keadilan sosial. Mengenai susunan hirarki Pancasila bahwa nilai-nilai Ketuhanan lebih
tinggi dari nilai kemanusiaan, nilai kemanusiaan lebih tinggi daripada nilai
kerakyatan, dan nilai kerakyatan lebih tinggi daripada nilai keadilan sosial.
Namun mengenai bentuk piramid dapat dijelaskan bahwa tiap-tiap sila yang berada
di belakang sila lainnya merupakan pengkhususan dari sila-sila yang ada di
depannya. Jadi kalau diterapkan dalam sila-sila pada Pancasila dapat dijelaskan
sebagai berikut: Bahwa sila kemanusiaan merupakan pengkhususan dari sila
Ketuhanan, sila kerakyatan merupakan pengkhususan dari sila persatuan Indonesia
dan sila keadilan sosial merupakan pengkhususan dari sila kerakyatan.
Pancasila sebagai
pandangan hidup, Ideologi Nasional dan Dasar Negara pada esensinya adalah
perwujudan dari pelaksanaan hak dan kewajiban individu sebagai anggota
masyarakat untuk mengejawantahkan pola perilaku sebagaimana tercermin dalam
masing-masing kelima sila tersebut. Demikian pula sebagai bangsa Indonesia
dan warga negara. Pancasila dengan dimensinya pada hakekatnya selaras dengan
aliran dalam filsafat hukum, yaitu Sociological Jurisprudence, sebagaimana
keinginan dan tujuan dari tiga dimensi Pancasila yang bertujuan menciptakan
harmoni berupa keserasian pelaksanaan hak dan kewajiban sehingga secra optimal
kebutuhan dan kepentingan manusia dalam masyarakat dapat terpenuhi secara tidak
memihak, yang oleh Roscoe Pound dikatakan terdapat 3 kepentingan hukum yang
perlu mendapat perlindungan, yaitu:
a.
Kepentingan
Umum.
b.
Kepentingan
Masyarakat.
c.
Kepentingan
Individu.
Aliran Sociological
Jurisprudence timbuld ari proses dialektika antara positivisme hukum dan mazhab
sejarah. Pada aliran Positivisme Hukum, memandang tidak ada hukum kecuali
perintah yang diberikan penguasa, sebaliknya Mazhab Sejarah menyatakan hukum
timbul dan berkembang bersama masyarakat. Kedua mazhab tersebut dapat dilihat
pada kepentingannya, yaitu: Positivisme mementingkan logika, sedang mazhab
Sejarah mengutamakan pengalaman. Namun Sociological Jurisprudence mementingkan
keduanya. Oleh karena itu dalam kaitannya dengan Pancasila sebagai pandangan
hidup, ideologi negara, dan dasar negara, terdapat kesamaan dengan mazhab
Sociological Jurisprudence, karena adanya kesamaan tujuan yang ingin
dicapainya. Seperti yang dikatakan Roscoe Pound yang menganggap hukum sebagai
alat untuk rekayasa sosial/masyarakat, dan ini tercermin dalam kelima sila dari
Pancasila, yang di dalamnya terkandung cita-cita untuk mewujudkan kehidupan
masyarakat adil dan makmur. Dengan demikian, pencerminan kedua aliran tersebut
terdapat kesesuaian dengan apa yang terkandung di dalam UUD 1945, baik
pembukaan, batang tubuh, maupun penjelasannya.
Lili Rasjid (1991) Filsafat
Hukum, Apakah Hukum Itu?.Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar