Sabtu, 17 Desember 2016

Hubungan Ilmu Pengetahuan dan Etika dalam Filsafat

Hubungan Ilmu Pengetahuan dan Etika dalam Filsafat
Sekilas tentang Ilmu Pengetahuan Ilmu pengetahuan yang dalam bahasa Inggris science, bahasa lati scientia berarti mempelajari atau mengetahui. Ilmu pengetahuan berbeda dengan pengetahuan (episteme). Ilmu pengetahuan bisa berasal dari pengetahuan tetapi tidak semua pengetahuan itu adalah ilmu. Ada beberapa syarat suatu pengetahuan dikategorikan ilmu. Menurut I.R. Poedjowijatno ilmu pengetahuan memiliki beberapa syarat: (Abbas Hamami: 4)

1.         Berobjek: objek material sasaran/bahan kajian, objek formal yaitu sudut pandang pendekatan suatu ilme terhadap objeknya
2.         Bermetode, yaitu prosedur/cara tertentu suatu ilmu dalam usaha mencari kebenaran
3.         Sistematis, ilmu pengetahuan seringkali terdiri dari beberapa unsur tapi tetap merupakan satu kesatuan. Ada hubungan, keterkaitan antara bagian yang satu dengan bagian yang lain.
4.         Universal, ilmu diasumsikan berlaku secara menyeluruh, tidak meliputi tempat tertentu atau waktu tertentu. Ilmu diproyekasikan berlaku seluas-luasnya.
Adapun ilmu pengetahuan memilki beberapa sifat:
1.      terbuka: ilmu terbuka bagi kritik, sanggahan atau revisi baru dalam suatu dialog ilmiah sehingga menjadi dinamis.
2.      milik umum, ilmu bukan milik individual tertentu termasuk para penemu teori atau hukum. Semua orang bisa menguji kebenarannya, memakai, dan menyebarkannya.
3.      objektif: kebenaran ilmu sifatnya objektif. Kebenaran suatu teori, paradigma atau aksioma harus didukung oleh fakta-fakta yang berupa kenyataan. Ilmu dalam penyusunannya harus terpisah dengan subjek, menerangkan sasaran perhatiannya sebagaimana apa adnya
4.      relatif: walaupun ilmu bersifat objektif, tetapi kebenaran yang dihasilkan bersifat relative/tidakl mutlak termasuk kebenaran ilmu-ilmu alam. Tidak ada kebenaran yang absolut yang tidak terbantahkan, tidak ada kepastian kebenaran, yang ada hanya tingkat probabilitas yang tinggi.

Nilai-Nilai dalam Ilmu Pengetahuan
Dalam sejarah perkembangan ilmu pengetahuan terdapat masalah mendasar yang sampai sekarang menjadi perdebatan panjang yaitu masalah apakah ilmu itu bena nilai atan tidak. Ada dua sikap dasar. Pertama kecederungan puritan-elitis, yang beranggapan bahwa ilmu itu bebas nilai, bergerak sendiri (otonom) sesuai dengan hukum-hukumnya. Tujuan ilmu pengetahuan adalahuntuk ilmu pengetahuan itu sendiri. Motif dasar dari ilmu pengetahuan adalah memenuhi rasa ingin tahu dengan tujuan mencari kebenaran. Sikap seperti ini dimotori oleh Aristoteles yang kemudian dilanjutkan oleh ilmuwan-ilmuwan ilmu alam. Ilmu harus otonom, tidak boleh tunduk pada nilai-nilai di luar ilmu sseperti nilai agama, nilai moral, nilai sosial, kekuasaa. Jika ilmu tunduk pada nilai-nilai di luar dirinya maka tidak akan didapatkan kebenaran ilmiah objektif dan rasional. (Sony Keraf: 150) Ilmu pengetahuan tidak akan berkembang. Ia hanya sekumpulan keyakinan-keyakinan tanpa didukung argument yang objektif dan rasional.
Yang ke dua kecenderungan pragmatis. Ilmu pengetahuan tidak hanya semata-mata mencari kebenaran. Ilmu pengetahuan harus berguna untuk memecahkan persoalan hidup manusia. Kebenaran ilmiah tidak hanya logis-rasional, empiris, tetapi juga pragmatis. Kebenaran tidak ada artinya kalau tidak berguna bagi manusia. Semboyan dasar dasar dari sikap pragmatis ini adalah bahwa ilmu pengetahuan itu untuk manusia.
Ke dua kubu yang bertentangan ini mempunyai asumsi yang berbeda, tetapi bukannya tidak dapat dipadukan. Jalan keluar dari kemelut ini adalah sintesis ke duanya. Berkaitan dengan ilmu harus dibedakan Context of justification dan context of discovery. Context of justifiction adalah konteks pengujian ilmiah terhadap hasil penelitian ilmiah dan kegiatan ilmiah. Dalam konteks ini pengetahuan harus didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan murni yang objektif dan rasional, tidak boleh ada pertimbangan lain. Satu-satunya yang berlaku dan dipakai untuk pertimbangan adalah nilai kebenaran. Ia tidak mau peduli terhadap pertimbangan-pertimbangan lain di luar dirinya. Ilmu bersifat otonom. Ilmu yang berdialog dalam dirinya sendiri itu bebas nilai. Ia berada di bawah pertimbangan ilmiah murni. (Sony Keraf, 155-156)
Context of discovery adalah konteks di mana ilmu pengetahuan itu ditemukan. Dalam konteks ini ilmu tidak bebas nilai. Ilmu pengetahuan selalu ditemukan dan berkembang dalam konteks ruang dan waktu tertentu, dalam konteks social tertentu. (Sony Keraf: 154) Kegiatan ilmiah mempunyai sasaran dan tujuan yang lebih luas dari sekedar menemukan kebenaran ilmiah. Ilmu pengetahuan muncul untuk memenuhi kebutuhan manusia sehingga bena nilai atan tidak. Ada dua sikap dasar. Pertama kecederungan puritan-elitis, yang beranggapan bahwa ilmu itu bebas nilai, bergerak sendiri (otonom) sesuai dengan hukum-hukumnya. Tujuan ilmu pengetahuan adalah untuk ilmu pengetahuan itu sendiri. Motif dasar dari ilmu pengetahuan adalah memenuhi rasa ingin tahu dengan tujuan mencari kebenaran. Sikap seperti ini dimotori oleh Aristoteles yang kemudian dilanjutkan oleh ilmuwan-ilmuwan ilmu alam. Ilmu harus otonom, tidak boleh tunduk pada nilai-nilai di luar ilmu sseperti nilai agama, nilai moral, nilai sosial, kekuasaan. Jika ilmu tunduk pada nilai-nilai di luar dirinya maka tidak akan didapatkan kebenaran ilmiah objektif dan rasional. (Sony Keraf: 150) Ilmu pengetahuan tidak akan berkembang. Ia hanya sekumpulan keyakinan-keyakinan tanpa didukung argumen yang objektif dan rasional.
Yang ke dua kecenderungan pragmatis. Ilmu pengetahuan tidak hanya semata-mata mencari kebenaran. Ilmu pengetahuan harus berguna untuk memecahkan persoalan hidup manusia. Kebenaran ilmiah tidak hanya logis-rasional, empiris, tetapi juga pragmatis. Kebenaran tidak ada artinya kalau tidak berguna bagi manusia. Semboyan dasar dasar dari sikap pragmatis ini adalah bahwa ilmu pengetahuan itu untuk manusia.
Ke dua kubu yang bertentangan ini mempunyai asumsi yang berbeda, tetapi bukannya tidak dapat dipadukan. Jalan keluar dari kemelut ini adalah sintesis ke duanya. Berkaitan dengan ilmu harus dibedakan Context of justification dan context of discovery. Context of justifiction adalah konteks pengujian ilmiah terhadap hasil penelitian ilmiah dan kegiatan ilmiah. Dalam konteks ini pengetahuan harus didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan murni yang objetif dan rasional, tidak boleh ada pertimbangan lain. Satu-satunya yang berlaku dan dipakai untuk pertimbangan adalah nilai kebenaran. Ia tidak mau peduli terhadap pertimbangan-pertimbangan lain di luar dirinya. Ilmu bersifat otonom. Ilmu yang berdialog dalam dirinya sendiri itu bebas nilai. Ia berada di bawah pertimbangan ilmiah murni. (Sony Keraf, 155-156)
Context of discovery adalah konteks di mana ilmu pengetahuan itu ditemukan. Dalam konteks ini ilmu tidak bebas nilai. Ilmu pengetahuan selalu ditemukan dan berkembang dalam konteks ruang dan waktu tertentu, dalam konteks social tertentu. (Sony Keraf: 154) Kegiatan ilmiah mempunyai sasaran dan tujuan yang lebih luas dari sekedar menemukan kebenaran ilmiah. Ilmu pengetahuan muncul untuk memenuhi kebutuhan manusia sehingga sejak awal ilmu pengetahuan mempunyai motif dan nilai tertentu. Ilmu pengetahuan dalam kontek keIndonesiaan
Tradisi kegiatan ilmiah di Indonesia memang belum mapan sebagaimana tradisi di dunia Barat. Justru itu masalah nilai dan ilmu ini harus dipahami sejak awal sebagai suatu koridor bagi kehidupan ilmiah di Indonesia. Bangsa Indonesia mempunyai sistem nilai sendiri yang melandasi berbagai bidang kehidupan termasuk kehidupan ilmiah. Pancasila sebagai core value dalam kehidupan ilmiah adalah suatu imperative Ilmu dalam konteks pengujian, dalam proses dalam dirinya sendiri memang harus bebas nilai, objektif rasional, namun di dalam proses penemuannya dan penerapannya ilmu tidak bebas nilai. Ilmu harus memperhatikan nilai-nilai yang ada dan berlaku di masyarakat. Ilmu harus mengemban misi yang lebih luas yaitu demi peningkatan harkat kemanusiaan. Ilmu harus bermanfaat bagi manusia, masyarakat, bangsa dan Negara Indonesia. Namun demikian tolok ukur manfaat itu tidak hanya sekedar manfaat pragmatis yang sesaat atau untuk kepentingan tertentu, sehingga ilmu kehilangan idealismenya. Ilmu yang dikembangkan harus tetap objektif bermanfaat bagi seluruh umat manusia dan tidak boleh bertentangan dengan nilai Pancasila, yaitu nilai teositas, nilai humanitas, nilai integritas kebangsaan, nilai demokrasi dan nila keadilan sosial. (Sri Rahayu Wilujeng, 2012, Draf materi Filsafat Ilmu dalam Pendidikan Kharakter bagi Mahasiswa Baru 2012)
Sila Ketuhanan Yang Maha Esa mengandung makna bahwa manusia tidak hanya semata-mata mengakui dan menghargi kemampuan rasionalitas manusia semata tetapi juga menginsyafi bahwa ada kekuatan lain yang lebih besar. Manusia tidak hanya dihargai karena aktifitas akalnya saja tetapi juga aspek-aspek lain yang irrasional. Sila kemanusiaan yang adil dan beradab, mengandung makna bahwa ilmu pengetahuan harus dikembalikan pada fungsi semula utuk kemanusiaan, tidak hanya untuk kelompok atau sector tertentu (T. Jacob: 42-43) Sila Persatuan Indonesia, mempuyai makna bahwa ilmu pengetahuan walaupun bersifat universal harus juga mengakomodasikan yang lokal sehingga berjalan harmonis. Ilmu pengetahuan yang dikembangkan tidak boleh menghancurkan dan membahayakan integritas nasional bangsa Indonesia. Sila ke empat mengandung pengertian bahwa ilmu pengetahuan yang dikembangkan tidak boleh hanya diputuskan atau dikendalikan segelintir orang. Berbagai pendapat para pakar di bidangnya harus dipertimbangkan, sehingga menghasilkan suatu pertimbangan yang representatif untuk harus mengakomodasi rasa keadilan bagi rakyat banyak. Ia tidak boleh mengabdi pada sekelompok kecil masyarakat, apalagi hanhya mengabdi pada kepentingan penguasa.
Lingkungan akademis adalah tempat dimana ilmu pengetahuan itu disemaikan. Dunia akademis di Indonesia mempunyai tugas yang lebih berat dari sekedar kehidupan ilmiah yang hanya menekankan aspek rasionalitas. Dunia akademis Indonesia mempunyai tugas dan tanggung jawab yang lebih besar. Dosen bukan hanya sebagai guru (teacher) sebagai tukang transfer pengetahuan. Dosen adalah pendidik yang bertugas untuk membimbing anak didik menjadi insan yang pintar dan bermoral. (Sri Rahayu Wilujeng, 2012, Draft Materi Filsafat Ilmu dalam Pendidikan Kharakter bagi Mahasiswa Baru UNDIP 2012).
Di lain pihak ia adala seorang ilmuwan yang menjalankan kegiatan ilmiah. Seperti di paparkan di atas bahwa ilmu itu bebas nilai, tetapi kegiatan keilmuan itu dilaksanakan oleh ilmuwan di bawah suatu lembaga/otoritas akademis yang menyangkut berbagai kepentingan, maka harus ada nilai-nilai yang menjadi ruh yang mengendalikannya. Dibutuhkan suatu etika ilmiah bagi ilmuwan, sehingga ilmu tetap berjalan pada koridornya yang benar. Sikap ilmiah harus dimiliki oleh setiap ilmuwan. Perlu di sadari bahwa sikap ilmiah ini ditujukan pada dosen, tetapi harus juga ada pada mahasiswa yang merupakan out put dari aktivitas ilmiah di lingkungan akademis. (Ibid.)
1.         Sikap ilmiah pertama yang harus dimiliki oleh setiap ilmuwan adalah kejujuran dan kebenaran. Nilai kejujuran dan kebenaran ini merupakan nilai interinsik yang ada di dalam ilmu pengetahuan, sehingga harus integral masuk dalam etos semua aktor ilmu pengetahuan di dalam lembaga akademis. Kejujuran ini menyangkut proses dalam kegiatan ilmiah, klaim kebenaran yang dihsilkan dari proses ilmiah, maupun dalam penerapan suatu ilmu pengetahuan. Tanpa kejujuran tidak akan di dapat kebenaran sebagaimana apa adanya, sedangkan motif dasar ilmu pengetahuan adalah memenuhi rasa ingin tahu untuk mendapatkan pengetahuan yang benar. Sikap jujur & obyektif. Sikap ilmiah tercermin pada sikap jujur dan objektif dalam mengumpulkan faktor dan menyajikan hasil analisis fenomena alam dan sosial melalui cara berpikir logis. Sikap jujur dan objektif menghasilkan produk pemikiran berupa penjelasan yang lugas dan tidak bias karena kepentingan tertentu.
2.         Tanggung jawab. Sikap ini mutlak dibutuhkan berkaitan dengan kegiatan penelitaian maupun dalam aplikasi ilmu serta, di dalam aktivitas ilmiah akademis.
3.         Setia. Seorang ilmuwan harus setia pada profesi dan setia pada ilmu  yang ditekuni. Ia harus setiap menyebarkan kebenaran yang diyakini walaupun ada resiko.
4.         Sikap ingin tahu.Seorang intelektual/cendekiawan memiliki rasa ingin tahu (coriousity) yang kuat untuk menggali atau mencari jawaban terhadap suatu permasalahan yang ada di sekelilingnya secara tuntas dan menyeluruh, serta mengeluarkan gagasan dalam bentuk ilmiah sebagai bukti hasil kerja mereka kepada dunia dan masyarakat awam. karena mereka merasa bahwa tanggung jawab itu ada dipundaknya.
5.         Sikap kritis. Bagi seorang cendekiawan, sikap kritis dan budaya bertanya dikembangkan untuk memastikan bahwa kebenaran sejati bisa ditemukan. Oleh karena itu, semua informasi pada dasarnya diterima sebagai input yang bersifat relative/nisbi, kecuali setelah melewati suatu standard verifikasi tertentu.
6.         Sikap independen/mandiri. Kebenaran ilmu pengetahuan pada hakekatnya adalah sesuatu yang obyektif, tidak ditentukan oleh imajinasi dan kepentingan orang tertentu. Cendekiawan berpikir dan bertindak atas dasar suara kebenaran, dan oleh karenanya tidak bisa dipengaruhi siapapun untuk berpendapat berbeda hanya karena ingin menyenangkan seseorang. Benar dikatakan benar, salah dikatakan salah, walaupun itu adalah hal yang pahit.
7.         Sikap terbuka. Walaupun seorang cendekiawan bersikap mandiri, akan tetapi hati dan pikirannya bersifat terbuka, baik terhadap pendapat yang berbeda, maupun pikiran-pikiran baru yang dikemukakan oleh orang lain. Sebagai ilmuwan, dia akan berusaha memperluas wawasan teoritis dan keterbukaannya kepada kemungkinan dan penemuan baru dalam bidang keahliannya. Seorang cendekiawan akan mengedepankan sikap bahwa ilmu, pengetahuan, dan pengalaman bersifat tidak terbatas dan akan senantiasa berkembang dari waktu ke waktu. Dia tidak akan selalu belajar sampai “ke negeri China”bahkan sampai akhir hayat.
8.         Sikap rela menghargai karya& pendapat orang lain Seeorang cendekiawan bersedia berdialog secara kontinyu dengan koleganya dan masyarakat sekitar dalam keterlibatan yang intensif dan sensitif.
9.         Sikap menjangkau kedepan.Cendekiawan adalah pemikir-pemikir yang memiliki kemampuan penganalisisan terhadap masalah tertentu atau yang potensial dibidangnya. “Change maker” adalah orang yang membuat perubahan atau agar perubahan di dalam masyarakat. Mereka memiliki tanggung jawab untuk mengubah masyarakat yang statis menjadi masyarakat yang dinamis dan berusaha dan berkreasi dalam bentuk nyata dengan hasil-hasil dari buah pemikiran dan penelitian untuk mengubah kondisi masyarakat dari zero to hero. (Tim Pendidikan Karakter 2012, Draft Materi Pendidikan Karakter bagi Mahasiswa baru 2012)

Rahayu, S. (n.d.). FILSAFAT , ETIKA DAN ILMU : Upaya Memahami Hakikat Ilmu dalam Konteks Keindonesiaan, 79–90.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar