Hubungan Ilmu Pengetahuan dan Etika dalam
Filsafat
Sekilas
tentang Ilmu Pengetahuan Ilmu pengetahuan yang dalam bahasa Inggris science,
bahasa lati scientia berarti mempelajari atau mengetahui. Ilmu pengetahuan
berbeda dengan pengetahuan (episteme). Ilmu pengetahuan bisa berasal
dari pengetahuan tetapi tidak semua pengetahuan itu adalah ilmu. Ada beberapa
syarat suatu pengetahuan dikategorikan ilmu. Menurut I.R. Poedjowijatno ilmu
pengetahuan memiliki beberapa syarat: (Abbas Hamami: 4)
1.
Berobjek:
objek material sasaran/bahan kajian, objek formal yaitu sudut pandang
pendekatan suatu ilme terhadap objeknya
2.
Bermetode,
yaitu prosedur/cara tertentu suatu ilmu dalam usaha mencari kebenaran
3.
Sistematis,
ilmu pengetahuan seringkali terdiri dari beberapa unsur tapi tetap merupakan
satu kesatuan. Ada hubungan, keterkaitan antara bagian yang satu dengan bagian
yang lain.
4.
Universal,
ilmu diasumsikan berlaku secara menyeluruh, tidak meliputi tempat tertentu atau
waktu tertentu. Ilmu diproyekasikan berlaku seluas-luasnya.
Adapun ilmu pengetahuan memilki beberapa sifat:
1.
terbuka:
ilmu terbuka bagi kritik, sanggahan atau revisi baru dalam suatu dialog ilmiah
sehingga menjadi dinamis.
2.
milik
umum, ilmu bukan milik individual tertentu termasuk para penemu teori atau
hukum. Semua orang bisa menguji kebenarannya, memakai, dan menyebarkannya.
3.
objektif:
kebenaran ilmu sifatnya objektif. Kebenaran suatu teori, paradigma atau aksioma
harus didukung oleh fakta-fakta yang berupa kenyataan. Ilmu dalam penyusunannya
harus terpisah dengan subjek, menerangkan sasaran perhatiannya sebagaimana apa
adnya
4.
relatif:
walaupun ilmu bersifat objektif, tetapi kebenaran yang dihasilkan bersifat
relative/tidakl mutlak termasuk kebenaran ilmu-ilmu alam. Tidak ada kebenaran
yang absolut yang tidak terbantahkan, tidak ada kepastian kebenaran, yang ada
hanya tingkat probabilitas yang tinggi.
Nilai-Nilai dalam Ilmu
Pengetahuan
Dalam sejarah perkembangan ilmu
pengetahuan terdapat masalah mendasar yang sampai sekarang menjadi perdebatan
panjang yaitu masalah apakah ilmu itu bena nilai atan tidak. Ada dua sikap
dasar. Pertama kecederungan puritan-elitis, yang beranggapan bahwa ilmu itu
bebas nilai, bergerak sendiri (otonom) sesuai dengan hukum-hukumnya. Tujuan
ilmu pengetahuan adalahuntuk ilmu pengetahuan itu sendiri. Motif dasar dari
ilmu pengetahuan adalah memenuhi rasa ingin tahu dengan tujuan mencari
kebenaran. Sikap seperti ini dimotori oleh Aristoteles yang kemudian
dilanjutkan oleh ilmuwan-ilmuwan ilmu alam. Ilmu harus otonom, tidak boleh
tunduk pada nilai-nilai di luar ilmu sseperti nilai agama, nilai moral, nilai
sosial, kekuasaa. Jika ilmu tunduk pada nilai-nilai di luar dirinya maka tidak
akan didapatkan kebenaran ilmiah objektif dan rasional. (Sony Keraf: 150) Ilmu
pengetahuan tidak akan berkembang. Ia hanya sekumpulan keyakinan-keyakinan
tanpa didukung argument yang objektif dan rasional.
Yang ke dua
kecenderungan pragmatis. Ilmu pengetahuan tidak hanya semata-mata mencari
kebenaran. Ilmu pengetahuan harus berguna untuk memecahkan persoalan hidup
manusia. Kebenaran ilmiah tidak hanya logis-rasional, empiris, tetapi juga
pragmatis. Kebenaran tidak ada artinya kalau tidak berguna bagi manusia.
Semboyan dasar dasar dari sikap pragmatis ini adalah bahwa ilmu pengetahuan itu
untuk manusia.
Ke dua kubu
yang bertentangan ini mempunyai asumsi yang berbeda, tetapi bukannya tidak
dapat dipadukan. Jalan keluar dari kemelut ini adalah sintesis ke duanya.
Berkaitan dengan ilmu harus dibedakan Context of justification dan context
of discovery. Context of justifiction adalah konteks pengujian
ilmiah terhadap hasil penelitian ilmiah dan kegiatan ilmiah. Dalam konteks ini
pengetahuan harus didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan murni yang objektif dan
rasional, tidak boleh ada pertimbangan lain. Satu-satunya yang berlaku dan
dipakai untuk pertimbangan adalah nilai kebenaran. Ia tidak mau peduli terhadap
pertimbangan-pertimbangan lain di luar dirinya. Ilmu bersifat otonom. Ilmu yang
berdialog dalam dirinya sendiri itu bebas nilai. Ia berada di bawah
pertimbangan ilmiah murni. (Sony Keraf, 155-156)
Context of discovery adalah konteks
di mana ilmu pengetahuan itu ditemukan. Dalam konteks ini ilmu tidak bebas
nilai. Ilmu pengetahuan selalu ditemukan dan berkembang dalam konteks ruang dan
waktu tertentu, dalam konteks social tertentu. (Sony Keraf: 154) Kegiatan
ilmiah mempunyai sasaran dan tujuan yang lebih luas dari sekedar menemukan
kebenaran ilmiah. Ilmu pengetahuan muncul untuk memenuhi kebutuhan manusia
sehingga bena nilai atan tidak.
Ada dua sikap dasar. Pertama kecederungan puritan-elitis, yang beranggapan
bahwa ilmu itu bebas nilai, bergerak sendiri (otonom) sesuai dengan
hukum-hukumnya. Tujuan ilmu pengetahuan adalah untuk ilmu pengetahuan itu sendiri.
Motif dasar dari ilmu pengetahuan adalah memenuhi rasa ingin tahu dengan tujuan
mencari kebenaran. Sikap seperti ini dimotori oleh Aristoteles yang kemudian
dilanjutkan oleh ilmuwan-ilmuwan ilmu alam. Ilmu harus otonom, tidak boleh
tunduk pada nilai-nilai di luar ilmu sseperti nilai agama, nilai moral, nilai
sosial, kekuasaan. Jika
ilmu tunduk pada nilai-nilai di luar dirinya maka tidak akan didapatkan
kebenaran ilmiah objektif dan rasional. (Sony Keraf: 150) Ilmu pengetahuan
tidak akan berkembang. Ia hanya sekumpulan keyakinan-keyakinan tanpa didukung
argumen yang objektif dan rasional.
Yang ke dua
kecenderungan pragmatis. Ilmu pengetahuan tidak hanya semata-mata mencari
kebenaran. Ilmu pengetahuan harus berguna untuk memecahkan persoalan hidup manusia.
Kebenaran ilmiah tidak hanya logis-rasional, empiris, tetapi juga pragmatis.
Kebenaran tidak ada artinya kalau tidak berguna bagi manusia. Semboyan dasar
dasar dari sikap pragmatis ini adalah bahwa ilmu pengetahuan itu untuk manusia.
Ke dua kubu
yang bertentangan ini mempunyai asumsi yang berbeda, tetapi bukannya tidak
dapat dipadukan. Jalan keluar dari kemelut ini adalah sintesis ke duanya.
Berkaitan dengan ilmu harus dibedakan Context of justification dan context
of discovery. Context of justifiction adalah konteks pengujian
ilmiah terhadap hasil penelitian ilmiah dan kegiatan ilmiah. Dalam konteks ini
pengetahuan harus didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan murni yang objetif
dan rasional, tidak boleh ada pertimbangan lain. Satu-satunya yang berlaku dan
dipakai untuk pertimbangan adalah nilai kebenaran. Ia tidak mau peduli terhadap
pertimbangan-pertimbangan lain di luar dirinya. Ilmu bersifat otonom. Ilmu yang
berdialog dalam dirinya sendiri itu bebas nilai. Ia berada di bawah
pertimbangan ilmiah murni. (Sony Keraf, 155-156)
Context of discovery adalah konteks
di mana ilmu pengetahuan itu ditemukan. Dalam konteks ini ilmu tidak bebas
nilai. Ilmu pengetahuan selalu ditemukan dan berkembang dalam konteks ruang dan
waktu tertentu, dalam konteks social tertentu. (Sony Keraf: 154) Kegiatan
ilmiah mempunyai sasaran dan tujuan yang lebih luas dari sekedar menemukan
kebenaran ilmiah. Ilmu pengetahuan muncul untuk memenuhi kebutuhan manusia
sehingga sejak awal ilmu
pengetahuan mempunyai motif dan nilai tertentu. Ilmu pengetahuan dalam kontek
keIndonesiaan
Tradisi
kegiatan ilmiah di Indonesia memang belum mapan sebagaimana tradisi di dunia
Barat. Justru itu masalah nilai dan ilmu ini harus dipahami sejak awal sebagai
suatu koridor bagi kehidupan ilmiah di Indonesia. Bangsa Indonesia mempunyai
sistem nilai sendiri yang melandasi berbagai bidang kehidupan termasuk
kehidupan ilmiah. Pancasila sebagai core value dalam kehidupan ilmiah
adalah suatu imperative Ilmu dalam konteks pengujian, dalam proses dalam dirinya
sendiri memang harus bebas nilai, objektif rasional, namun di dalam proses
penemuannya dan penerapannya ilmu tidak bebas nilai. Ilmu harus memperhatikan
nilai-nilai yang ada dan berlaku di masyarakat. Ilmu harus mengemban misi yang
lebih luas yaitu demi peningkatan harkat kemanusiaan. Ilmu harus bermanfaat
bagi manusia, masyarakat, bangsa dan Negara Indonesia. Namun demikian tolok
ukur manfaat itu tidak hanya sekedar manfaat pragmatis yang sesaat atau untuk
kepentingan tertentu, sehingga ilmu kehilangan idealismenya. Ilmu yang
dikembangkan harus tetap objektif bermanfaat bagi seluruh umat manusia dan
tidak boleh bertentangan dengan nilai Pancasila, yaitu nilai teositas, nilai
humanitas, nilai integritas kebangsaan, nilai demokrasi dan nila keadilan sosial.
(Sri Rahayu Wilujeng, 2012, Draf materi Filsafat Ilmu dalam Pendidikan
Kharakter bagi Mahasiswa Baru 2012)
Sila Ketuhanan Yang Maha Esa mengandung
makna bahwa manusia tidak hanya semata-mata mengakui dan menghargi kemampuan
rasionalitas manusia semata tetapi juga menginsyafi bahwa ada kekuatan lain
yang lebih besar. Manusia tidak hanya dihargai karena aktifitas akalnya saja
tetapi juga aspek-aspek lain yang irrasional. Sila kemanusiaan yang adil dan
beradab, mengandung makna bahwa ilmu pengetahuan harus dikembalikan pada fungsi
semula utuk kemanusiaan, tidak hanya untuk kelompok atau sector tertentu (T.
Jacob: 42-43) Sila Persatuan Indonesia, mempuyai makna bahwa ilmu pengetahuan
walaupun bersifat universal harus juga mengakomodasikan yang lokal sehingga berjalan
harmonis. Ilmu pengetahuan yang dikembangkan tidak boleh menghancurkan dan
membahayakan integritas nasional bangsa Indonesia. Sila ke empat mengandung
pengertian bahwa ilmu pengetahuan yang dikembangkan tidak boleh hanya
diputuskan atau dikendalikan segelintir orang. Berbagai pendapat para pakar di
bidangnya harus dipertimbangkan, sehingga menghasilkan suatu pertimbangan yang representatif untuk harus
mengakomodasi rasa keadilan bagi rakyat banyak. Ia tidak boleh mengabdi pada
sekelompok kecil masyarakat, apalagi hanhya mengabdi pada kepentingan penguasa.
Lingkungan akademis adalah tempat dimana
ilmu pengetahuan itu disemaikan. Dunia akademis di Indonesia mempunyai tugas
yang lebih berat dari sekedar kehidupan ilmiah yang hanya menekankan aspek
rasionalitas. Dunia akademis Indonesia mempunyai tugas dan tanggung jawab yang
lebih besar. Dosen bukan hanya sebagai guru (teacher) sebagai tukang
transfer pengetahuan. Dosen adalah pendidik yang bertugas untuk membimbing anak
didik menjadi insan yang pintar dan bermoral. (Sri Rahayu Wilujeng, 2012, Draft
Materi Filsafat Ilmu dalam Pendidikan Kharakter bagi Mahasiswa Baru UNDIP 2012).
Di lain
pihak ia adala seorang ilmuwan yang menjalankan kegiatan ilmiah. Seperti di
paparkan di atas bahwa ilmu itu bebas nilai, tetapi kegiatan keilmuan itu
dilaksanakan oleh ilmuwan di bawah suatu lembaga/otoritas akademis yang
menyangkut berbagai kepentingan, maka harus ada nilai-nilai yang menjadi ruh
yang mengendalikannya. Dibutuhkan suatu etika ilmiah bagi ilmuwan, sehingga
ilmu tetap berjalan pada koridornya yang benar. Sikap ilmiah harus dimiliki
oleh setiap ilmuwan. Perlu di sadari bahwa sikap ilmiah ini ditujukan pada
dosen, tetapi harus juga ada pada mahasiswa yang merupakan out put dari
aktivitas ilmiah di lingkungan akademis. (Ibid.)
1.
Sikap
ilmiah pertama yang harus dimiliki oleh setiap ilmuwan adalah kejujuran dan
kebenaran. Nilai kejujuran dan kebenaran ini merupakan nilai interinsik yang
ada di dalam ilmu pengetahuan, sehingga harus integral masuk dalam etos semua
aktor ilmu pengetahuan di dalam lembaga akademis. Kejujuran ini menyangkut
proses dalam kegiatan ilmiah, klaim kebenaran yang dihsilkan dari proses
ilmiah, maupun dalam penerapan suatu ilmu pengetahuan. Tanpa kejujuran tidak
akan di dapat kebenaran sebagaimana apa adanya, sedangkan motif dasar ilmu
pengetahuan adalah memenuhi rasa ingin tahu untuk mendapatkan pengetahuan yang
benar. Sikap jujur & obyektif. Sikap ilmiah tercermin pada sikap jujur dan
objektif dalam mengumpulkan faktor dan menyajikan hasil analisis fenomena alam
dan sosial melalui cara berpikir logis. Sikap jujur dan objektif menghasilkan
produk pemikiran berupa penjelasan yang lugas dan tidak bias karena kepentingan
tertentu.
2.
Tanggung
jawab. Sikap ini mutlak dibutuhkan berkaitan dengan kegiatan penelitaian maupun
dalam aplikasi ilmu serta, di dalam aktivitas ilmiah akademis.
3.
Setia.
Seorang ilmuwan harus setia pada profesi dan setia pada ilmu yang ditekuni. Ia harus setiap menyebarkan kebenaran yang diyakini
walaupun ada resiko.
4.
Sikap
ingin tahu.Seorang intelektual/cendekiawan memiliki rasa ingin tahu (coriousity)
yang kuat untuk menggali atau mencari jawaban terhadap suatu permasalahan yang
ada di sekelilingnya secara tuntas dan menyeluruh, serta mengeluarkan gagasan
dalam bentuk ilmiah sebagai bukti hasil kerja mereka kepada dunia dan
masyarakat awam. karena mereka merasa bahwa tanggung jawab itu ada dipundaknya.
5.
Sikap
kritis. Bagi seorang cendekiawan, sikap kritis dan budaya bertanya dikembangkan
untuk memastikan bahwa kebenaran sejati bisa ditemukan. Oleh karena itu, semua
informasi pada dasarnya diterima sebagai input yang bersifat relative/nisbi,
kecuali setelah melewati suatu standard verifikasi tertentu.
6.
Sikap
independen/mandiri. Kebenaran ilmu pengetahuan pada hakekatnya adalah sesuatu
yang obyektif, tidak ditentukan oleh imajinasi dan kepentingan orang tertentu.
Cendekiawan berpikir dan bertindak atas dasar suara kebenaran, dan oleh
karenanya tidak bisa dipengaruhi siapapun untuk berpendapat berbeda hanya
karena ingin menyenangkan seseorang. Benar dikatakan benar, salah dikatakan
salah, walaupun itu adalah hal yang pahit.
7.
Sikap
terbuka. Walaupun seorang cendekiawan bersikap mandiri, akan tetapi hati dan
pikirannya bersifat terbuka, baik terhadap pendapat yang berbeda, maupun
pikiran-pikiran baru yang dikemukakan oleh orang lain. Sebagai ilmuwan, dia
akan berusaha memperluas wawasan teoritis dan keterbukaannya kepada kemungkinan
dan penemuan baru dalam bidang keahliannya. Seorang cendekiawan akan
mengedepankan sikap bahwa ilmu, pengetahuan, dan pengalaman bersifat tidak
terbatas dan akan senantiasa berkembang dari waktu ke waktu. Dia tidak akan
selalu belajar sampai “ke negeri China”bahkan sampai akhir hayat.
8.
Sikap
rela menghargai karya& pendapat orang lain Seeorang cendekiawan bersedia
berdialog secara kontinyu dengan koleganya dan masyarakat sekitar dalam
keterlibatan yang intensif dan sensitif.
9.
Sikap
menjangkau kedepan.Cendekiawan adalah pemikir-pemikir yang memiliki kemampuan penganalisisan terhadap masalah tertentu atau yang
potensial dibidangnya. “Change maker” adalah orang yang membuat
perubahan atau agar perubahan di dalam masyarakat. Mereka memiliki tanggung
jawab untuk mengubah masyarakat yang statis menjadi masyarakat yang dinamis dan
berusaha dan berkreasi dalam bentuk nyata dengan hasil-hasil dari buah pemikiran
dan penelitian untuk mengubah kondisi masyarakat dari zero to hero. (Tim
Pendidikan Karakter 2012, Draft Materi Pendidikan Karakter bagi Mahasiswa baru
2012)
Rahayu, S. (n.d.). FILSAFAT , ETIKA DAN ILMU : Upaya Memahami
Hakikat Ilmu dalam Konteks Keindonesiaan, 79–90.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar