Minggu, 25 Desember 2016

Dominasi dalam Filsafat

Dominasi dalam Filsafat
Dominasi dalam filsafat terjadi pada masa renaisans, yang berarti “lahir kembali”. Pengertian riilnya adalah manusia mulai memiliki kesadaran-kesadaran baru yang mengedepankan nilai dan keluhuran manusia. Suasana dan budaya berpikirnya memang melukiskan kembali kepada semangat awali, yaitu semangat Filsafat Yunani kuno yang mengedepankan penghargaan terhadap kodrat manusia itu sendiri.
Sebuah masyarakat dilingkupi kekuasaan. Sistem kemasyarakatan hingga ketaatan sebuah ideologi selalu dikonstruksi oleh kekuasaan tertentu. Kekuasaan itulah yang disebut dominasi. Buku “Dominasi Penuh Muslihat, Akar Kekerasan dan Diskriminasi tahun 2010” yang ditulis oleh Haryatmoko disampaikan dalam banyak segi kehidupan yang didominasi oleh kekuasaan tertentu. Gagasan-gagasan tersebut berasal dari para pemikir seperti Pierre Bourdieu, Jean Baudrillard, Jurgen Habermas, Michel Foucault, hingga Jacques Derrida yang terkenal selalu menaruh curiga atas kebenaran-kebenaran yang sudah terlanjur diterima secara umum.
Michel Foucault yang menelurkan gagasan arkeologi pengetahuan yakin bahwa ada kepentingan di balik sebuah pengetahuan dalam masyarakat. Hal yang sama juga terdapat dalam pemikiran Jurgen Habermas yang merupakan salah seorang pemikir aliran kritis mazhab
Frankfurt, ingin membebaskan manusia dari rasionalitas instrumental yang kental dengan logika dan formalisme dalam menentukan kebenaran.
Dari berbagai banyak dominasi-dominasi yang ada dalam segi kehidupan ternyata terdapat dominasi utama sebagai akar kekerasan dalam masyarakat yaitu dominasi agama, dominasi wacana dan dominasi uang yang mengarah kepada konsumerisme. Dominasi agama
kerap memicu kekerasan. Kekerasan agama tidak hanya persoalan penafsiran teks, tetapi mengakar pada anggapan bahwa Tuhan pun berhak melakukan pembalasan atau kekerasan sebagai bagian dari kesucian-Nya. Hal ini terjadi pada zaman kekuasaan dogma gereja atas masyarakat. Pencerahan memberi nalar untuk perang melawan dogma-dogma. Keruntuhan dogmatisme gereja merupakan syarat bagi pembebasan masyarakat dari penderitaan. Penderitaan yang dimaksudkan adalah penindasan yang dilakukan penguasa dan pendeta kepada masyarakat. Perbudakan yang diderita orang hampir di semua Negara adalah teror keagamaan yang menciptakan ketakutan pada semua umat manusia.
Dominasi wacana yang paling sulit diatasi, terutama menyangkut kekerasan simbolik. Dominasi ini beroperasi pada tataran bahasa, cara kerja dan cara bertindak. Dampak dari dominasi wacana cenderung halus dan tidak terasa. Parahnya dominasi ini diakui dan diterima si korban, contoh dominasi wacana adalah posisi subordinasi perempuan. Dominasi lain yang kental dengan masyarakat kontemporer adalah uang. Masyarakat kontemporer menganggap bahwa uang menjadi ukuran untuk menentukan berbagai hal. Konsumsi tidak lagi berdasarkan kebutuhan melainkan tanda. Konsumen membeli barang bukan karena manfaat, tetapi dalam kaitan pemaknaan seluruh objek. Bahkan konsumsi bukan lagi untuk memenuhi kebutuhan dasar, tetapi karena tekanan psikologi dan sosial.
Kritik ideologi merupakan pemikiran yang sangat hangat pada mahzab Frankfurt. Nama Mazhab Frankfurt digunakan untuk menunjukkan sekelompok sarjana yang bekerja pada Lembaga untuk Penelitian Sosial di Frankfurt Main. Lembaga ini didirikan pada tahun 1923 oleh Felix Weil, anak seorang pedagang gandum yang kaya raya dan sarjana dalam ilmu politik dengan bantuan ayahnya. Lembaga ini bertujuan untuk menyelidiki persoalan-persoalan masyarakat sosial dari berbagai segi ilmiah. Seperti sejarah gerakan kaum buruh dan asal-usul
antisemitisme yang pada waktu itu sosiologi empiris mendapat kurang kesempatan di Universitas Jerman, terutama sosiologi yang berhaluan marxistis.
Tokoh Filsuf pada masa itu antara lain, yaitu: Harbert Marcuse, Max Horkheimer, Theodor W.Adorno dan yang paling muda adalah Jurgen Habermes. Para penganut Mazhab Frankfurt memberikan inspirasi kepada Jurgen Habermes dalam melahirkan kritik-kritik
ideologi yang tidak hanya kritis namun juga emansipatif. Habermes bersama teman-temannya banyak terinspirasi oleh pemikiran-pemikiran Karl Marx yang sangat kritis terutama terhadap pertautan diskursus antara kelas borjuis dan ploretar.
Kepentingan kekuasaan yang berdiri dan mendukung kelompokkelompok tertentu. Sehingga, dalam praktiknya terdapat distorsi-distorsi ideologi yang tidak seimbang dalam kehidupan riil masyarakat. Karena dominasi dan monopoli industri modern yang menguasai seluruh aspek kehidupan masyarakat. Secara halus melarutkan ke diskursus pertentangan kelas melalui bentuk kapitalisme. Seolah-olah tidak pernah terjadi bahwa segala ideologi diartikulasikan secara ideologis sebagai kesadaran palsu yang tidak hanya menghadirkan dirinya sebagai satu makna yang dapat dipahami, namun juga dipahami dalam makna sejatinya. Makna sejati yaitu suatu makna dalam hubungannya dengan satu kepentingan untuk melakukan dominasi.
Kritik ideologi Marxian dan psikoanalisis Freudian adalah contoh-contoh klasik penelitian yang berorientasi pada kritik tersebut. Namun keduanya tidak dapat diterima begitu saja sebagai paradigma. Sebagaimana disampaikan oleh para pendirinya, keduanya mengandung sebuah kesalahpahaman ilmiah. Maka pencarian model tepat bagi teori sosial kritis masih cukup dibutuhkan. Mirip dengan hal itu, meskipun kritik transendental Kant atas pengetahuan dan refleksi fenomenologis Hegel atas kesadaran dalam manifestasinya memberikan pijakan awal bagi diskusi Habermas tentang teori pengetahuan, namun dia tidak menganggap keduanya sebagai suatu konsepsi filsafat yang tepat.
Pengembangan cara penelitian filosofis yang sesuai dengan kepentingan emansipatoris juga masih diperlukan. Konsekuensinya, dalam diskusinya tentang kepentingan ketiga ini, Habermas tidak hanya setuju begitu saja dengan refleksi atas cara penelitian yang umumnya diterima sebagaimana yang dilakukannya pada dua kepentingan sebelumnya dan tidak mengungkapkan landasan berbagai disiplin yang telah mapan namun dia terlibat dalam refleksi epistemologis sebagai langkah awal untuk merumuskan konsepsi tentang penelitian sosial dan penelitian filosofis.
Di sepanjang sejarah filsafat, tema kebenaran akan muncul pembebasan dalam berbagai variasi. Pada zaman Yunani kuno, ajakan Socrates untuk melaksanakan perintah Delphic untuk mengenali diri sendiri adalah contoh paling konkrit. Usaha sistematis yang dilakukan Plato dan
Aristoteles bukannya tidak didorong oleh kepentingan dalam emansipasi. Sikap teori murni, kontemplasi yang tidak berkepentingan dan janji tentang adanya pemurnian dari segala dorongan dan hasrat yang tidak konstan dalam kehidupan sehari-hari.
Di zaman modern, pencerahan memberi nalar pada posisi partisipan dalam perang melawan dogmatisme. Kemajuan wawasan kritis berarti kemajuan ke arah otonomi individu seperti keruntuhan kendala dogmatis yang merupakan syarat bagi pembebasan masyarakat dari penderita tidak seharusnya yang justru dipilih secara sukarela. Emansipasi melalui pencerahan memerlukan kehendak untuk rasional. Maka ide tentang nalar meliputi kehendak untuk rasional, kehendak untuk meraih kedewasaan, otonomi dan tanggung jawab dalam kehidupan. Meskipun konsep kepentingan nalar tampak dalam filsafat praktis Immanuel Kant, namun pandangan bahwa nalar seharusnya mencakup suatu dorongan untuk membebaskan nalar tidak dapat dikonsepkan di dalam kerangka kerja transendental Kant. Membiarkan kehendak ditentukan oleh sesuatu selain pertimbangan atas nalar hukum praktis, yaitu bertindak berdasarkan kehendak atau kecenderungan tertentu.
Bagi Kant merupakan heteronomi kehendak (penggembosan kehendak), tergadainya kebebasan dan rasionalitas seseorang. Motif yang melandasi tindakan bebas, tindakan rasional, bukanlah kepentingan subjektif terhadap objek tindakan. Motif tersebut pasti merupakan motif yang berlaku dan valid bagi setiap makhluk yang rasional. Di sisi lain, perasaan moral menjadi bukti bagi adanya sesuatu yang mirip kepentingan faktual dalam pelaksanaan hukum moral dalam wilayah kebebasan.
Kepentingan jenis ini tidak bersifat inderawi. Oleh karena itu, Kant menyebutkan kesenangan praktis dalam moralitas, yaitu suatu tindakan yang ditentukan oleh prinsip-prinsip nalar, sebagai kepentingan murni (berlawanan dengan kepentingan patologis terhadap objek tindakan). Konsep kepentingan murni menganggap nalar berasal dari suatu kausalitas  yang bertentangan dengan konsep kemampuan hasrat.55
Melihat kenyataan itu, Habermas dengan pemikiran barunya yaitu pendekatan kritis dan pendekatan materialistik. Baginya pendekatan kritis sangat penting untuk melawan dominasi dan monopoli ideologi. Materialistik berusaha membongkar distorsi-distorsi ideologis manusia dalam kepentingan hubungan produksi. Kepentingan dalam pemeliharaan diri tidak dapat didefinisikan secara terpisah dari kondisi kultural kehidupan manusia. Subjek-subjek sosial mula-mula harus menginterpretasikan kehidupan. Interpretasi diarahakan pada gagasan tentang kehidupan yang baik. Istilah kehidupan yang baik bukanlah sesuatu yang didasarkan pada konvensi murni dan tidak pula punya esensi yang baku. Gagasan ideal tentang otonomi dan tanggung jawab diletakkan di dalam struktur komunikasi yang diharapkan dapat diperoleh dalam setiap tindakan komunikasi. Kondisi ideal ini belum menjadi nyata dan dia tidak dapat dicapai dalam satu tindakan intuisi diri saja karena proses pembentukan diri spesies bukan sesuatu yang tak bersyarat. Pembentukan diri ini tergantung kepada berbagai kondisi interaksi simbolis dan pertukaran material dengan alam. Akibatnya, ukuran-ukuran kedewasaan yang dapat dicapai pada tahap tertentu dari perkembangan historis juga dikondisikan.
Kepentingan nalar untuk melakukan emansipasi yang ditanamkan dalam proses pembentukan diri spesies dan yang memutar gerakan refleksi bertujuan untuk mewujudkan kondisi-kondisi interaksi simbolis dan tindakan instrumental. Kepentingan ini mengandalkan adanya bentuk-bentuk terbatas dari kepentingan kognitif praktis dan kepentingan kognitif teknis. Sampai pada ukuran-ukuran tertentu, konsep kepentingan nalar yang dikemukakan oleh idealisme perlu ditafsirkan ulang dalam konteks materialis yaitu kepentingan emansipatoris tergantung kepada kepentingan yang terdapat dalam orientasi tindakan intersubjektif dan kontrol teknis yang mungkin berlangsung.
Bagi Habermas, ide tentang satu masyarakat yang dibebaskan dari sejarah dan diperuntukkan bagi penguasaan teknis atas masa depannya, ide tentang sejarah dan ide tentang ilmu sosial post historis yang dibebaskan dari interpretasi situasi historis yang terkait dengan konteks sama-sama bersifat inklusif. Gagasan-gagasan tersebut dipahami secara hermeneutis
dalam kaitannya dengan perkembangan sosial budaya masyarakat modern. Di dalam kenyataan, teori tindakan sosial yang diyakini bersifat universal tetap berakar dan mencerminkan perkembangan ini. Hal ini tampak jelas dalam perumusan beberapa kategori dasar. Artinya tidak ada alternatif bagi dialog sebagai media untuk mengklarifikasi dan mengevaluasi klaim-klaim validitas yang saling bertentangan. Pengkritik ideologi membayangkan dirinya punya superioritas sudut pandang dalam kenyataan tidak mampu di justifikasi. Habermas mampu mengantisipasi hasil dialog rasional sebelum dialog itu berlangsung. Seperti halnya kritik ideologi, hermeneutika dipandu oleh antisipasi akan datangnya suatu kehidupan adil.
Namun nalar ideal ini menghalangi siapapun mengklaim bahwa dirinya telah mendapatkan suatu pandangan yang benar dan menganggap pandangan orang lain delusif. Penentuan ideal-ideal nalar dan keadilan tidak akan dapat dicapai secara terpisah dari usaha memperoleh kesepemahaman dalam dialog yaitu pemahaman hermenutis. Hal-hal yang baik bagi manusia merupakan suatu yang dialami dalam praktik manusia, dan dia tidak dapat ditentukan secara terpisah dari situasi konkrit tentang suatu hal yang lebih diinginkan dari pada hal lain. Apabila dipahami sebagai sebuah gagasan umum, gagasan tentang kehidupan yang adil adalah suatu yang hampa.
Kritik ideologi dari teori kritis generasi pertama akhirnya ditujukan pada satu sasaran yaitu akal instrumental, yaitu rasio yang melihat realitas sebagai potensi untuk dimanipulasi, ditundukkan, dan dikuasai secara total. Akal jenis ini memandang realitas, alam, dan manusia sebagai objek klasifikasi, konseptualisasi, dan perlu ditata secara efisien untuk tujuan yang dianggap penting untuk kekuasaan. Dengan akal instrumental, segala usaha manusia untuk memahami realitas direduksi sebatas mencari jawaban bagaimana. Akibatnya, kebijakan publik menjadi persoalan teknis semata-mata yang mengabaikan permasalahan nilai-nilai. Akal instrumental digunakan oleh kapitalisme lanjut untuk menyeregamkan dan membendakan
kesadaran manusia dengan menciptakan kebutuhan-kebutuhan palsu.
Para pendahulu teori kritik menemukan kebuntuan dalam proyek pembebasan manusia. Kesimpulan yang dicapai bahwa emansipasi yang dilakukan oleh manusia sejak zaman Yunani kuno hingga zaman modern pada akhirnya mengarahkan manusia kepada irasionalitas. Emansipasi menghasilkan perbudakan, rasionalisasi menghasilkan irasionalitas, dan pencerahan menghasilkan kebutaan. Habermas menegaskan rasio merupakan sesuatu yang berkaitan erat dengan kemampuan linguistik manusia. Sebagai ganti dari paradigma kerja, akal didasarkan pada paradigma komunikasi. Manusia adalah makhluk komunikasi yang mencapai kebermaknaannya melalui proses komunikasi. Habermas mengandalkan komunikasi sebagai sarana pencerahan manusia.
Menurut Habermas, komunikasi mengandaikan dua hal, yaitu:
1.      Manusia berhadapan satu sama lain sebagai pihak-pihak yang sejajar dan berdaulat. Komunikasi tidak menciptakan situasi subjek-objek yang bersubordinasi satu sama lain.
2.      Komunikasi menyediakan ruang kebebasan untuk menangkap maksud orang lain. Di sini sama sekali tidak ada pemaksaan agar satu pendapat diterima dan pendapat lain tidak diterima.
Berdasarkan paradigma komunikasi, Habermas mengembangkan teori tindakan komunikasi. Menurutnya, komunikasi yang sehat adalah komunikasi yang ditandai oleh kebebasan tiap partisipan untuk menentang klaim-klaim tanpa rasa takut akan tindakan kekerasan, intimidasi, dan sebagainya. Dalam komunikasi yang sehat, tiap partisipan memiliki kesempatan yang sama untuk berbicara, membuat keputusan, menampilkan diri, mengajukan klaim normatif serta menentang pendapat partisipan lain.
Habermas dengan teori tindakan komunikasi, Habermas menunjukkan kemampuan manusia untuk melakukan pencerahan diri lewat proses komunikasi. Melalui kegiatan komunikasi, manusia dapat saling memahami dan membebaskan. Komunikasi akan menghasilkan konsensus-konsensus yang secara sadar dicapai oleh para partisipan komunikasi tidak mengandung penindasan. Komunikasi juga dapat menyadarkan manusia modern dari penindasan pemilik modal buta. Melalui komunikasi, pencerahan dan pembebasan manusia dapat dicapai.


 Amsal Bakhtiar (2009). Filsafat Agama: Wisata Pemikiran dan Kepercayaan Manusia.
Jakarta: Rajawali Pers

Tidak ada komentar:

Posting Komentar