Kebenaran dalam Sejarah Filsafat
Dalam
filsafat, jembatan penghubung ke arah kebenaran adalah Teori
Pengetahuan. Teori pengetahuanlah yang membicarakan benarnya
pengetahuan. Teori ini membahas dasar pengetahuan, batas pengetahuan,
serta objek pengetahuan. Dalam membahas dasar pengetahuan,
dipertanyakan apakah yang menjadi penyebab tahunya manusia.
Mengenai batas pengetahuan dipermasalahkan sejauh mana luas
tahunya manusia (subjek). Sedangkan tentang objek pengetahuan difokuskan
pada pertanyaan apakah yang menjadi sasaran tahu itu (objek).
Teori pengetahuan membicarakan hal subjek dan objek untuk mengetahui
besarnya peranan keduanya dalam menuju kebenaran.
Sejarah
alam pikiran Eropa sejak awal mulanya menunjukkan pertalian yang
sangat erat antara filsafat dengan ilmu pengetahuan positif.
Di kalangan
bangsa Yunani timbul alam pikiran yang berupa filsafat dan
ilmu pengetahuan sekaligus, namun suatu perkembangan
yang cepat
menyebabkan terjadinya pemilahan antara filsafat dengan ilmu
pengetahuan yang khusus, seperti matematika, fisika dan ilmu kedokteran.
Tetapi penilaian ini tidak menyebabkan pemisahan antara filsafat
dengan ilmu pengetahuan positif. Demikian juga dengan abad pertengahan.
Jauh lebih penting hubungan antara filsafat dengan teologi
kristiani dibanding dengan hubungan antara filsafat dengan ilmu-ilmu
pengetahuan. Sesungguhnya alam pikiran zaman pertengahan terutama
bersifat teologik. Tetapi di dalam kerangka alam pikiran teologik
ini filsafat senantiasa semakin mendapatkan kemandiriannya yang
nisbi. Ditinjau dari segi sejarah filsafat, filsafat menempatkan diri sebagai
usaha manusia dalam mencari kebenaran. Kebenaran yang dicari
itu bukan pada satu bagian atau pada suatu tingkat dari realitas, tetapi
pada dasar yang paling dalam, atau dalam totalitasnya.
Filsafat
dalam hal ini menyatakan diri sebagai usaha mencari kebenaran, tidak dalam
sektor tertentu atau dalam tingkat tertentu ,tetapi pada dasarnya yang paling
dalam, paling utama, dan dalam totalitasnya tanpa sesuatu pun yang tertinggal
atau dilupakan. Sejarah mengenai kebenaran dari Yang Ada jauh bersamaan dengan sejarah filsafat
pengetahuan. Pada permulaan filsafat, orang senantiasa berbondong-bondong
mencari pemahaman tentang masalah dunia jasmani yang
diawali dengan prinsip dasar pembentuk dan yang ada
alam semesta
ini. Tetapi kemudian para pemikir meninggalkan masalah ini,
lalu beralih mempermasalahkan pengetahuan yang kemudian menanyakan
mengenai sesuatu dan pemahaman mengenai sesuatu.
Terdapat
dua sikap ekstrim yang berkaitan dengan pertanyaan mengenai
kebenaran:
a.
Pesimisme.
Orang tidak percaya akan kemampuan akal budi manusia untuk
memahami kebenaran. Orang melihatnya dengan nada minor. Pesimisme
dapat mengambil beberapa bentuk, yakni skeptisisme, fenomenisme,
dan agnostisisme. Skeptisisme menegaskan ketidaktahuan
total mengenai kebenaran. Fenomenisme menekankan
ketidaktahuan yang bersifat parsial dan luar. Agnotisisme
merupakan perpaduan antara fenomenisme dan skeptisisme.
Seorang agnostik lebih bersifat tidak mempeduliksoal kebenaran.
b.
Optimisme
yang berlebihan. Sikap semacam itu menekankan untuk mengetahui
kebenaran secara tuntas, total, langsung, jelas. Pengetahuan
dibayangkan sebagai pengetahuan ilahi. Optimisme semacam ini
dapat ditemukan pada filsuf Plato, okasionalisme, idealisme dan
juga dalam ontologisme.
Soal kebenaran selalu berkaitan dengan manusia yang berpikir dan yang mempunyai pemahaman
manusia dan kebenaran merupakan dua hal yang konatural.
Hal ini dapat ditemukan pada awal filsafat. Parmanides menegaskan
bahwa berpikir dan berada merupakan satu hal saja. Sesuatu yang
mustahil memahami manusia berpikir tanpa berpikir mengenai kebenaran.
Orang tidak dapat berpikir tanpa memikirkan sesuatu. Plato menegaskan
bahwa kebenaran persis sama dengan realitas. Aristoteles memperluas
ungkapan yang penuh makna dengan memperluas cakrawala kebenaran
pada realitas kosmik.
Filsuf
adalah pemburu kebenaran, kebenaran yang diburunya adalah
kebenaran hakiki tentang seluruh realitas dan setiap hal yang dapat dipersoalkan.
Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa berfilsafat berarti memburu
kebenaran tentang segala sesuatu. Kebenaran yang hendak
dicapai
bukanlah kebenaran yang meragukan melainkan kebenaran yang sungguh-sungguh dan
dapat dipertanggungjawabkan, setiap kebenaran yang telah diraih harus
senantiasa terbuka untuk dipersoalkan kembali dan diuji demi meraih kebenaran
yang lebih pasti. Jelas terlihat bahwa kebenaran
filsafati tidak pernah bersifat mutlak dan final, melainkan terus bergerak
dari suatu kebenaran menuju kebenaran baru yang lebih pasti. Kebenaran
yang pasti itupun masih memerlukan proses pembenaran guna mencapai
kebenaran yang lebih meyakinkan dan lebih pasti.
Tingkat
kebenaran kefilsafatan secara objektif dapat dikembalikan kepada
objek materi, keluasaan dan kedalaman objek forma, derajat, metode
dan sistem yang berlaku di dalamnya:
a.
mempertimbangkan
objek materi, yang mana filsafat mempelajari segala sesuatu yang ada, sehingga
dapat kita pahami bahwa kebenaran ilmu pengetahuan filsafat itu bersifat umum (universal)
yang berarti tidak terikat dengan jenis-jenis objek tertentu dalam artian
berada di dalam ruang dan waktu tertentu saja melainkan meliputi seluruh hal yang
ada di mana dan kapan pun juga. Misalnya, objek manusia. Manusia
tidak hanya terbatas pada jenis tertentu baik menurut etnis, golongan,
maupun zaman. Jadi, objek manusia adalah manusia siapa pun,
kapan pun
dan yang hidup dimana pun.
b.
Objek
forma, kebenaran ilmu pengetahuan filsafat bersifat metafisis, artinya meliputi
ruang lingkup mulai dari yang konkret-khusus sampai kepada yang
abstrak-universal.
c.
Sifat
kebenaran ilmu pengetahuan filsafat yang abstrak metafisis itu semakin
jelas. Karena, metode kefilsafatan itu terarah pada pencapaian pengetahuan
esensial atas setiap hal dan pengetahuan eksistensial daripada
segala sesuatu dalam keterikatan yang utuh (kesatuan). Metode
kefilsafatan analitikosintetik menjelaskan suatu hasil berupa hasil
persenyawaan antara esensi-esensi dari setiap hal ke dalam satu unitas
(kesatuan) ang dapat membentuk satu prinsip abstrak umum universal
yang nantinya akan meliputi segala macam hal sebagai isi realitas
ini.
d.
Sifat
kebenaran metafisis semakin lebih jelas apabila di lihat dari sistem
dialektik (closed opened dialectical system). Sistem ini senantiasa
terarah kepada keterbukaan bagi masuknya ide-ide baru atau
pengetahuan-pengetahuan baru yang semakin memperjelas kebenaran
realitas dan soliditas kebenaran Filsufis yang abstrak metafisis
dan umum universal.
Sifat
kebenaran fiolSofis ini dapat juga dilihat dengan menginformasikan
teori-teori kebenaran ilmiah sehingga membentuk satu pandangan
yang integral (integrated point of view). Teori-teori ilmiah yang
kiranya layak dikemukakan adalah antara teori koheren (coheren theory), teori koresponden (correspondent theory) dan teori
pragmatis (pragmatic theory).
Persoalan
tentang kebenaran mempunyai kaitan dengan masalah mengenai Yang
Ada. Salah satu ciri yang ada ialah bahwa yang ada itu benar.
Yang Ada memiliki kebenaran sebagai sifat transendental. Tiga serangkai
yakni satu, benar, dan baik selalu diemukan dalam pemahaman mengenai
Yang Ada. Yang Ada dalam hubungannya dengan akal budi menjelma sebagai
kebenaran. Kebenaran berarti atribut atau sifat yang bersifat
relatif dari Yang Ada dalam kaitannya dengan pemahaman. Secara ontologis
sesuatu menjadi semakin sempurna kalau sesuatu itu kaya dengan
kemungkinan untuk diketahui. Hanya yang tiada yang tidak
mempunyai
hubungan dengan kebenaran. Hal yang mendasar dalam permasalahan kebenaran ialah bahwa kebenaran
selalu dikaitkan dengan akal budi atau intelek manusia. Kebenaran
merupakan persoalan hubungan antara intelek dan realitas. Kebenaran
dalam hubungannya antara intelek dan realitas dibagi menjadi 3
macam, yaitu:
a.
Kebenaran
yang berkaitan dengan etika. Kebenaran dalam tataran ini menunjukkan
hubungan antara hal yang dikatakan dengan hal yang dirasakan
atau dipikirkan.
b.
Kebenaran
yang berkaitan dengan logika. Kebenaran dalam tataran ini menunjukkan
hubungan antara keputusan dan realitas objektif. Kebenaran ini
berkaitan dengan logika, epistemologi dan psikologi.
c.
Kebenaran
yang berkaitan dengan Yang Ada, yaitu dalam tingkat ontologis.
Dasar
dari kebenaran adalah yang Ada atau yang bereksistensi. Kebenaran
dapat ditemukan melalui beberapa cara: Akal Sehat (Common senses), Intuitif, Trial and error, Otoritas,
Prasangka, dan Wahyu.
a.
Akal
sehatAkal sehat merupakan konsep yang memuaskan untuk digunakan secara
praktis. Akal sehat dapat menghasilkan kebenaran dan dapat pula menyesatkan.
Misalnya pada abad ke-1, menurut akal sehat banyak pemimpin percaya bahwa
hukuman terhadap badannya merupakan alat utama dalam kepemimpinannya. Hasil
penelitian dalam bidang psikologi menunjukkan bahwa bukan hukuman yang merupakan
alat utama dalam kepemimpinan melainkan ganjaran.
b.
Intuitif
Kebenaran
dengan intuitif diperoleh secara cepat melalui proses yang tidak
disadari atau tanpa berpikir terlebih dahulu. Dengan intuitif orang
memberikan penilaian atau keputusan tanpa suatu renungan. Kebenaran
melalui intuitif sukar dipercaya karena tanpa menggunakan langkah-langkah
yang sistematis. Metode ini disebut metode apriori. Dalil-dalil
apriori seseorang yang cocok dengan penawarannya, belum
tentu cocok dengan pengalaman atau data empiris.
c.
Trial
and Error
Kebenaran melalui trial and error dilakukan secara coba-coba
tanpa kesadaran
akan pemecahan
masalah tertentu. Pemecahan terjadi secara kebetulan. Cara
ini umumnya tidak efisien dan tidak terkontrol.
d.
Otoritas
Kebenaran diterima melalui otoritas atau kewibawaan seorang ilmuwan
atau pejabat tertentu. Pendapat mereka umumnya sering diterima
orang tanpa diuji, karena dipandang sudah benar. Namun pendapat
otoritas ilmiah itu tidak selamanya benar.
e.
Prasangka
Kebenaran melalui akal sehat dipengaruhi kepentingan orang yang melakukannya sehingga
akal sehat berubah menjadi prasangka. Orang sering tidak
menghendaki keadaan.
f.
Wahyu
Kebenaran yang didasarkan kepada wahyu bukanlah disebabkan penalaran
manusia secara
aktif tetapi diturunkan Allah SWT kepadaRasulullah dan Nabi. Kebenaran ilmiah diperoleh
melalui penelitian ilmiah yang mempuyai ciri-ciri: sistematis, logis, empiris,
reduktif,
dapat
diulangi (replicable) dan berguna bagi pihak yangmembutuhkannya (transmitable).
Amsal Bakhtiar (2009). Filsafat Agama: Wisata Pemikiran
dan Kepercayaan Manusia.
Jakarta: Rajawali Pers
Tidak ada komentar:
Posting Komentar