Minggu, 25 Desember 2016

Kebenaran dalam Sejarah Filsafat

Kebenaran dalam Sejarah Filsafat
Dalam filsafat, jembatan penghubung ke arah kebenaran adalah Teori Pengetahuan. Teori pengetahuanlah yang membicarakan benarnya pengetahuan. Teori ini membahas dasar pengetahuan, batas pengetahuan, serta objek pengetahuan. Dalam membahas dasar pengetahuan, dipertanyakan apakah yang menjadi penyebab tahunya manusia. Mengenai batas pengetahuan dipermasalahkan sejauh mana luas tahunya manusia (subjek). Sedangkan tentang objek pengetahuan difokuskan pada pertanyaan apakah yang menjadi sasaran tahu itu (objek). Teori pengetahuan membicarakan hal subjek dan objek untuk mengetahui besarnya peranan keduanya dalam menuju kebenaran.
Sejarah alam pikiran Eropa sejak awal mulanya menunjukkan pertalian yang sangat erat antara filsafat dengan ilmu pengetahuan positif. Di kalangan bangsa Yunani timbul alam pikiran yang berupa filsafat dan ilmu pengetahuan sekaligus, namun suatu perkembangan
yang cepat menyebabkan terjadinya pemilahan antara filsafat dengan ilmu pengetahuan yang khusus, seperti matematika, fisika dan ilmu kedokteran. Tetapi penilaian ini tidak menyebabkan pemisahan antara filsafat dengan ilmu pengetahuan positif. Demikian juga dengan abad pertengahan. Jauh lebih penting hubungan antara filsafat dengan teologi kristiani dibanding dengan hubungan antara filsafat dengan ilmu-ilmu pengetahuan. Sesungguhnya alam pikiran zaman pertengahan terutama bersifat teologik. Tetapi di dalam kerangka alam pikiran teologik ini filsafat senantiasa semakin mendapatkan kemandiriannya yang nisbi. Ditinjau dari segi sejarah filsafat, filsafat menempatkan diri sebagai usaha manusia dalam mencari kebenaran. Kebenaran yang dicari itu bukan pada satu bagian atau pada suatu tingkat dari realitas, tetapi pada dasar yang paling dalam, atau dalam totalitasnya.
Filsafat dalam hal ini menyatakan diri sebagai usaha mencari kebenaran, tidak dalam sektor tertentu atau dalam tingkat tertentu ,tetapi pada dasarnya yang paling dalam, paling utama, dan dalam totalitasnya tanpa sesuatu pun yang tertinggal atau dilupakan. Sejarah mengenai kebenaran dari Yang Ada jauh bersamaan dengan sejarah filsafat pengetahuan. Pada permulaan filsafat, orang senantiasa berbondong-bondong mencari pemahaman tentang masalah dunia jasmani yang diawali dengan prinsip dasar pembentuk dan yang ada
alam semesta ini. Tetapi kemudian para pemikir meninggalkan masalah ini, lalu beralih mempermasalahkan pengetahuan yang kemudian menanyakan mengenai sesuatu dan pemahaman mengenai sesuatu.
Terdapat dua sikap ekstrim yang berkaitan dengan pertanyaan mengenai kebenaran:
  a.            Pesimisme. Orang tidak percaya akan kemampuan akal budi manusia untuk memahami kebenaran. Orang melihatnya dengan nada minor. Pesimisme dapat mengambil beberapa bentuk, yakni skeptisisme, fenomenisme, dan agnostisisme. Skeptisisme menegaskan ketidaktahuan total mengenai kebenaran. Fenomenisme menekankan ketidaktahuan yang bersifat parsial dan luar. Agnotisisme merupakan perpaduan antara fenomenisme dan skeptisisme. Seorang agnostik lebih bersifat tidak mempeduliksoal kebenaran.
 b.            Optimisme yang berlebihan. Sikap semacam itu menekankan untuk mengetahui kebenaran secara tuntas, total, langsung, jelas. Pengetahuan dibayangkan sebagai pengetahuan ilahi. Optimisme semacam ini dapat ditemukan pada filsuf Plato, okasionalisme, idealisme dan juga dalam ontologisme.
Soal kebenaran selalu berkaitan dengan manusia yang berpikir dan yang mempunyai pemahaman manusia dan kebenaran merupakan dua hal yang konatural. Hal ini dapat ditemukan pada awal filsafat. Parmanides menegaskan bahwa berpikir dan berada merupakan satu hal saja. Sesuatu yang mustahil memahami manusia berpikir tanpa berpikir mengenai kebenaran. Orang tidak dapat berpikir tanpa memikirkan sesuatu. Plato menegaskan bahwa kebenaran persis sama dengan realitas. Aristoteles memperluas ungkapan yang penuh makna dengan memperluas cakrawala kebenaran pada realitas kosmik.
Filsuf adalah pemburu kebenaran, kebenaran yang diburunya adalah kebenaran hakiki tentang seluruh realitas dan setiap hal yang dapat dipersoalkan. Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa berfilsafat berarti memburu kebenaran tentang segala sesuatu. Kebenaran yang hendak
dicapai bukanlah kebenaran yang meragukan melainkan kebenaran yang sungguh-sungguh dan dapat dipertanggungjawabkan, setiap kebenaran yang telah diraih harus senantiasa terbuka untuk dipersoalkan kembali dan diuji demi meraih kebenaran yang lebih pasti. Jelas terlihat bahwa kebenaran filsafati tidak pernah bersifat mutlak dan final, melainkan terus bergerak dari suatu kebenaran menuju kebenaran baru yang lebih pasti. Kebenaran yang pasti itupun masih memerlukan proses pembenaran guna mencapai kebenaran yang lebih meyakinkan dan lebih pasti.
Tingkat kebenaran kefilsafatan secara objektif dapat dikembalikan kepada objek materi, keluasaan dan kedalaman objek forma, derajat, metode dan sistem yang berlaku di dalamnya:
a.          mempertimbangkan objek materi, yang mana filsafat mempelajari segala sesuatu yang ada, sehingga dapat kita pahami bahwa kebenaran ilmu pengetahuan filsafat itu bersifat umum (universal) yang berarti tidak terikat dengan jenis-jenis objek tertentu dalam artian berada di dalam ruang dan waktu tertentu saja melainkan meliputi seluruh hal yang ada di mana dan kapan pun juga. Misalnya, objek manusia. Manusia tidak hanya terbatas pada jenis tertentu baik menurut etnis, golongan, maupun zaman. Jadi, objek manusia adalah manusia siapa pun, kapan pun dan yang hidup dimana pun.
b.          Objek forma, kebenaran ilmu pengetahuan filsafat bersifat metafisis, artinya meliputi ruang lingkup mulai dari yang konkret-khusus sampai kepada yang abstrak-universal.
c.          Sifat kebenaran ilmu pengetahuan filsafat yang abstrak metafisis itu semakin jelas. Karena, metode kefilsafatan itu terarah pada pencapaian pengetahuan esensial atas setiap hal dan pengetahuan eksistensial daripada segala sesuatu dalam keterikatan yang utuh (kesatuan). Metode kefilsafatan analitikosintetik menjelaskan suatu hasil berupa hasil persenyawaan antara esensi-esensi dari setiap hal ke dalam satu unitas (kesatuan) ang dapat membentuk satu prinsip abstrak umum universal yang nantinya akan meliputi segala macam hal sebagai isi realitas ini.
d.          Sifat kebenaran metafisis semakin lebih jelas apabila di lihat dari sistem dialektik (closed opened dialectical system). Sistem ini senantiasa terarah kepada keterbukaan bagi masuknya ide-ide baru atau pengetahuan-pengetahuan baru yang semakin memperjelas kebenaran realitas dan soliditas kebenaran Filsufis yang abstrak metafisis dan umum universal.
Sifat kebenaran fiolSofis ini dapat juga dilihat dengan menginformasikan teori-teori kebenaran ilmiah sehingga membentuk satu pandangan yang integral (integrated point of view). Teori-teori ilmiah yang kiranya layak dikemukakan adalah antara teori koheren (coheren theory), teori koresponden (correspondent theory) dan teori pragmatis (pragmatic theory).
Persoalan tentang kebenaran mempunyai kaitan dengan masalah mengenai Yang Ada. Salah satu ciri yang ada ialah bahwa yang ada itu benar. Yang Ada memiliki kebenaran sebagai sifat transendental. Tiga serangkai yakni satu, benar, dan baik selalu diemukan dalam pemahaman mengenai Yang Ada. Yang Ada dalam hubungannya dengan akal budi menjelma sebagai kebenaran. Kebenaran berarti atribut atau sifat yang bersifat relatif dari Yang Ada dalam kaitannya dengan pemahaman. Secara ontologis sesuatu menjadi semakin sempurna kalau sesuatu itu kaya dengan kemungkinan untuk diketahui. Hanya yang tiada yang tidak
mempunyai hubungan dengan kebenaran. Hal yang mendasar dalam permasalahan kebenaran ialah bahwa kebenaran selalu dikaitkan dengan akal budi atau intelek manusia. Kebenaran merupakan persoalan hubungan antara intelek dan realitas. Kebenaran dalam hubungannya antara intelek dan realitas dibagi menjadi 3 macam, yaitu:
  a.            Kebenaran yang berkaitan dengan etika. Kebenaran dalam tataran ini menunjukkan hubungan antara hal yang dikatakan dengan hal yang dirasakan atau dipikirkan.
 b.            Kebenaran yang berkaitan dengan logika. Kebenaran dalam tataran ini menunjukkan hubungan antara keputusan dan realitas objektif. Kebenaran ini berkaitan dengan logika, epistemologi dan psikologi.
  c.            Kebenaran yang berkaitan dengan Yang Ada, yaitu dalam tingkat ontologis.
Dasar dari kebenaran adalah yang Ada atau yang bereksistensi. Kebenaran dapat ditemukan melalui beberapa cara: Akal Sehat (Common senses), Intuitif, Trial and error, Otoritas, Prasangka, dan Wahyu.
  a.            Akal sehatAkal sehat merupakan konsep yang memuaskan untuk digunakan secara praktis. Akal sehat dapat menghasilkan kebenaran dan dapat pula menyesatkan. Misalnya pada abad ke-1, menurut akal sehat banyak pemimpin percaya bahwa hukuman terhadap badannya merupakan alat utama dalam kepemimpinannya. Hasil penelitian dalam bidang psikologi menunjukkan bahwa bukan hukuman yang merupakan alat utama dalam kepemimpinan melainkan ganjaran.
 b.            Intuitif
Kebenaran dengan intuitif diperoleh secara cepat melalui proses yang tidak disadari atau tanpa berpikir terlebih dahulu. Dengan intuitif orang memberikan penilaian atau keputusan tanpa suatu renungan. Kebenaran melalui intuitif sukar dipercaya karena tanpa menggunakan langkah-langkah yang sistematis. Metode ini disebut metode apriori. Dalil-dalil apriori seseorang yang cocok dengan penawarannya, belum tentu cocok dengan pengalaman atau data empiris.
c.              Trial and Error
Kebenaran melalui trial and error dilakukan secara coba-coba tanpa kesadaran akan pemecahan masalah tertentu. Pemecahan terjadi secara kebetulan. Cara ini umumnya tidak efisien dan tidak terkontrol.
d.              Otoritas
Kebenaran diterima melalui otoritas atau kewibawaan seorang ilmuwan atau pejabat tertentu. Pendapat mereka umumnya sering diterima orang tanpa diuji, karena dipandang sudah benar. Namun pendapat otoritas ilmiah itu tidak selamanya benar.
e.              Prasangka
Kebenaran melalui akal sehat dipengaruhi kepentingan orang yang melakukannya sehingga akal sehat berubah menjadi prasangka. Orang sering tidak menghendaki keadaan.
f.              Wahyu
Kebenaran yang didasarkan kepada wahyu bukanlah disebabkan penalaran manusia secara aktif tetapi diturunkan Allah SWT kepadaRasulullah dan Nabi. Kebenaran ilmiah diperoleh melalui penelitian ilmiah yang mempuyai ciri-ciri: sistematis, logis, empiris, reduktif,
dapat diulangi (replicable) dan berguna bagi pihak yangmembutuhkannya (transmitable).


 Amsal Bakhtiar (2009). Filsafat Agama: Wisata Pemikiran dan Kepercayaan Manusia.
Jakarta: Rajawali Pers

Tidak ada komentar:

Posting Komentar