Hubungan antara Filsafat dan Wahyu
Wahyu berasal dari kata
Arab al-wahy,
pengertiannya adalah sebuah doktrin Tuhan yang mengikat manusia sebagai seorang
hamba untuk patuh dan taat kuasa-Nya. Wahyu menjadikan manusia terikat dengan aturan hidup di alam
semesta. Bersamaan dengan kepatuhan
tersebut
manusia membangun sebuah kepercayaan akan adanya kekuatan yang mengikat di luar diri manusia,
yaitu sebuah kepercayaan.
Filsafat adalah
permenungan yang mendalam terhadap Tuhan,
manusia
dan alam dengan akal. Plato mengatakan filsafat lahir dari ketakjuban dengan keheranan karena
hanya manusia yang dapat takjub.
Plato
menjadi subjek, dan objeknya adalah segala sesuatu yang ada
dihadapannya dan belum jelas. Hal ini
dipertanyakan untuk menjelaskan kenyataan
guna memperoleh kebenaran. Bebicara ketakjuban, anak-kanaklah yang hidup penuh keheranan dengan
mengajukan bermacam pertanyaan
kepada orang tua mereka. Kenapa matahari tiap pagi terbit tiap malam hilang? Kenapa teman-temanku
kemarin sehat-sehat saja sekarang
meninggal?
kenapa berbohong itu dosa?. Dari keheranan inilah para filsuf berusaha mencari jawabannya
sendiri, karena jawaban yang sudah ada
disangsikannya.
Dalam sejarah Filsafat
Yunani pada awal abad ke-6 SM, satu
zaman
acuan yang sering disebut juga zaman peralihan dari mitos ke logos.
Sebelum masa itu sering diceritakan bahwa alam semesta dan kejadian di dalamnya terjadi berkat
kuasa-kuasa gaib dan adikodrati
kuasa para dewa-dewi. Pada awal abad
tersebut muncul seorang pemikir dari
daerah
pesisir di Asia kecil, yakni Miletos. Miletos mencoba memahami dan menjelaskan dunia dan
gejala-gejala di dalamnya tanpa bersandar pada mitos,
melainkan pada logos.
Logos berarti
kata (tuturan, bahasa) atau akal. Dengan akal ini, para filsuf mencari
prinsip-prinsip rasional dan objektif
ilmiah untuk menjelaskan keteraturan dunia dan posisi manusia di dalamnya.
Jika wahyu sebagai
doktrin dari Tuhan, maka filsafat dengan pisau bedahnya mampu menerjemahkan
wahyu tersebut sehingga tidak terjadi kesalahan fikir.
Hubungan antara
filsafat dan wahyu bersifat kontradiksi. Hal ini dapat
diartikan sebagai hubungan kata-kata dalam suatu propos yang menunjukkan adanya ketidaksesuaian
atau bersifat kontradiktif. Sebagaimana
bentuk hubungan logis yang lain, bentuk hubungan kontradiksi
dapat memberikan spesifikasi ciri hubungan unsur-unsur pembentuk proposisi. Proposisi
tersebut selain dapat berupa proposisi
sederhana
yang terdiri atas sebuah argumen
dan
sebuah predikator, dapat juga
berupa proposisi kompleks.
Amsal Bakhtiar (2009). Filsafat Agama: Wisata Pemikiran
dan Kepercayaan Manusia.
Jakarta: Rajawali Pers
Tidak ada komentar:
Posting Komentar